Mohon tunggu...
Nuning Listi
Nuning Listi Mohon Tunggu... Wiraswasta - ibu rumah tangga

Seorang ibu rumah tangga biasa yang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengubah Pola Pikir Kekerasan Menjadi Cinta Damai

6 April 2019   13:04 Diperbarui: 6 April 2019   13:11 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pramoedya Ananta Toer sempat menuliskan dalam novelnya, bahwa manusia perlu berlaku adil sejak dari dalam pikiran. Apa yang dikatakan Pram ini sangat menarik dan masih relevan perlu kita renungkan dan implementasikan di era yang sudah modern ini. Era digital ini telah banyak disalahgunakan oleh oknum tertentu untuk menebar ujaran kebencian dan kebohongan.

Akibat perilaku yang tidak baik ini, masyarakat kita yang mayoritas masih rendah literasi, tidak melakukan cek ricek informasi dan menelannya begitu saja. Dan dampak yang lebih mengerikan adalah ketika hoaks itu diberikan sentimen SARA, sangat berpotensi melahirkan konflik di tengah masyarakat.

Konflik akan bisa dihindari, jika tidak ada niat. Niat jelek tidak akan terwujud jika tidak ada dalam pikiran. Karena itulah, kuncinya ada dalam pola pikir kita sendiri. Apakah kita akan berbuat baik ataupun berbuat sebaliknya.

Sepandai apapun kita, jika kepandaian akan digunakan untuk kepentingan negative, tetap akan terjadi sepanjang pola pikirnya menunjang itu. Seorang anak akan cenderung mengikuti pola pikir orang tuanya, karena dari lahir hingga besar mendapatkan didikan dari orang tua. Lalu bagaimana dengan anak seorang yang radikal? Bagaimana pula dengan anak seoarang professor, dosen ataupun yang lainnya? Karena itulah memperbaiki pola pikir sejak dari dalam pikiran perlu dilakukan.

Arahkan pola pikir kita untuk kepentingan yang lebih baik, untuk kepentingan yang lebih luas, dan untuk kepentingan yang bisa menyatukan keragaman. Ingat, provokasi radikalisme telah menyusup ke setiap sendi kehidupan masyarakat. Tidak hanya terjadi di dunia maya, tapi juga dalam kehidupan nyata. Tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tapi juga terjadi pada anak-anak.

Tentu kita masih ingat, ketika buku-buku berisi konten radikalisme telah disusupkan ke sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) di kawasan Depok Jawa Barat. Tentu kita juga masih ingat bagaimana kampus-kampus di perguruan tinggi, sempat digunakan kelompok radikal untuk melakukan perekrutan. Bahkan, salah satu perguruan tinggi negeri juga sempat digunakan untuk melakukan deklarasi mendukung khilafah.

Dan fakta terjadi, remaja Indonesia banyak yang menjadi korban radikalisme. Bahkan ada juga yang memilih melakukan aksi terorisme. Banyak diantara mereka mengenal radikalisme dari internet. Banyak juga aksi persekusi yang terjadi di tengah masyarakat, juga karena provokasi di media sosial.

Maraknya provokasi dan masih banyaknya masyarakat yang menjadi korban provokasi, menunjukkan bahwa masih ada sebagian dari masyarakat yang berpikiran sempit. Karena logika sudah tidak berfungsi, nilai-nilai kearifan lokal sudah tidak digunakan. Rasa saling menghormati dan keramahan berubah menjadi amarah yang membabi buta.

Mari kita ubah pola pikir kekerasan yang masih ada dalam diri kita semua, menjadi pola pikir perdamaian. Mari saling mengedepankan toleransi agar kita tidak saling mencaci dan memaki. Kita adalah bersaudara dan tidak perlu saling provokasi antar sesama.

Bukankah Indonesia lebih indah jika tetap beragam? Bukankah Indonesia memang sudah beragam sejak dari dulu? Mari saling menghargai demi terciptanya perdamaian negeri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun