Mohon tunggu...
Nastiti Cahyono
Nastiti Cahyono Mohon Tunggu... Editor - karyawan swasta

suka menulis dan fotografi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Bungkus Prasangka dengan Kebencian

14 Juli 2017   21:48 Diperbarui: 15 Juli 2017   06:45 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebencian Medsos - http://www.reopan.com

Prasangka merupakan perilaku negatif yang mengarahkan kelompok pada individu, berdasarkan pada keterbatasan atau kesalahan informasi tentang kelompok. Prasangka juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat emosional, yang akan mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan sosial. Prasangka ini sebenarnya tidak ada persoalan, jika berdiri sendiri. Namun prasangka akan menjadi persoalan, jika ada banyak kepentingan didalamnya. 

Dalam beberapa kasus, munculnya konflik antar masyarakat di beberapa daerah, berawal dari hal-hal yang sepele, yaitu prasangka. Kondisi kian pelik, ketika prasangka ini dibungkus dengan sentimen kegaman. Akibatnya, ujaran kebencian atas nama agama semakin menjadi-jadi di negeri ini.

Ujaran kebencian bukanlah sesuatu yang tinggal. Dampak yang dihasilkan begitu mengerikan. Kita bisa saksikan dan rasakan, bagaimana ujaran kebencian saat pilkada DKI Jakarta, telah mampu memprovokasi masyarakat dari berbagai daerah. Masyarakat di luar Jakarta ikut marah, hanya karena ikut terprovokasi oleh berita hoax yang begitu masif berkembang di media sosial dan pesan berantai. 

Ujaran kebencian telah mampu meningkatkan perilaku intoleran dalam sekejab. Ujaran kebencian juga mampu merapatkan jaringan teroris, untuk ikut memanfaatkan hiruk pikuk pilkada. Hate speech telah berubah menjadi hate crime, yang berujung pada tindak kejahatan dan terorisme.

Karena bahayanya ujaran kebencian, membuat FBI melakukan serangkaian investigasi. Sejak 2015 lalu, mereka telah menyebut hate crime dan intoleransi sebagai bibit dari terorisme. Bahkan, dari hasil investigasi itu, FBI menempatkan hate crime masuk dalam posisi kelima dalam daftar kejahatan yang paling berbahaya. Bagaimana dengan Indonesia? Ujaran kebencian yang awalnya hanya berada di dunia maya, juga ikut terjadi di dunia nyata. Dari hasil catatan Komnas HAM menyatakan, ada peningkatan kasus intoleransi di masyarakat.

Untuk menangani hal ini, tentu tidak hanya perlu mengandalkan aparat keamanan, tapi perlu sinergi semua pihak. Mulailah introspeksi dari diri sendiri. Seberapa sering kita merasa diri kita paling benar. Dan seberapa sering kita selalu berprasangka terhadap orang lain. Jika kita sering melakukan hal itu, mungkin kita perlu membekali diri dengan ilmu pengetahuan, menguatkan logika, dan yang tidak kalah pentingnya adalah menguatkan sisi religius kita. Dan semuanya itu harus dilakukan dalam semangat untuk menjaga persatuan dan kesatuan.

Gunakan pola pikir yang bersih, agar bisa melihat persoalan secara utuh. Gunakan akal sehat yang diberikan Tuhan, untuk keperluan yang baik. Jangan gunakan kelebihan itu untuk menyusupkan kebencian dalam setiap prasangka. Jika kita terus menerapkan hal ini, maka paham takfiri akan mudah masuk dalam pikiran. Orang yang terpapar takfiri, akan mudah mengkafirkan orang lain. Orang yang berbeda pendangan dianggap salah dan kafir. Dan kalau sudah menyandang kafir, maka harus dihancurkan. Saat ini, tidak hanya orang barat yang dianggap kafir, pemerintah bahkan aparat keamanan seperti polisi juga dianggap kafir. Tak heran jika polisi akhir-akhir ini sering jadi sasaran teror.

Ingat, kita tinggal di Indonesia. Sebuah negara yang sangat menjunjung tinggi toleransi. Sebuah negara yang mempunyai banyak suku, budaya dan agama. Tidak hanya Jawa, Sunda, Dayak, tapi juga banyak suku yang lainnya. Tidak hanya ada Islam, tapi juga ada Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu dan aliran kepercayaan. Semuanya ada dan tersebar dari Aceh hingga Papua. Semuanya bersatu dalam keberagaman, tanpa ada kebencian antara satu dengan yang lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun