Mohon tunggu...
Nastiti Cahyono
Nastiti Cahyono Mohon Tunggu... Editor - karyawan swasta

suka menulis dan fotografi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demokrasi Santun dan Demokrasi Barbar

15 Januari 2022   12:25 Diperbarui: 15 Januari 2022   12:27 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kurun 20-30 tahun terakhir ini, negara-negara mengalami masa kemajuan teknologi yang begitu pesat khususnya teknologi informasi dan komunikasi. Jika dahulu orang butuh beberapa hari untuk mendapat kabar melalui surat atau beberapa saat karena melalui telegram atau telepon. Kantor pos dan telekomunikasi sibuk mengirimkan surat atau telepon dengan manual (melalui jasa pos)  Kini fenomena itu tidak ada lagi.

Begitu juga dengan media massa. Dahulu, media cetak butuh waktu untuk menyetak dan kemudian menyebarkan dengan cara manual, artinya dicetak di kertas dan kemudian disebarkan ke seluruh pelosok negeri. Jika satu daerah itu jauh dari tempat percetakan yang berada di Jakarta, semisal di Maluku, maka koran mungkin akan diterima pada sore hari atau malah esok harinya.

Yang ada sekarang adalah pengiriman pesan atau konten media massa tersampaikian dengan cepat melalui teknologi informasi. Koran atau media massa tidak lagi berbentuk kertas, namun bisa diterima dengan baik melalui tab atau handphone. Orang di Papua atau di NTT tidak perlu lagi menunggu koran secara fisik dari kertas tapi bisa langsung bisa diterima melalui berita online.

Begitu mudah dan begitu simpel teknologi in formasi otomatis memudahkan banyak hal. Bisa membantu bidang pendidikan, bidang ekonomi termasuk bisnis, bidang sosial dan budaya serta politik. Transaksi ekonomi bisa dilakukan dengan cepat sehingga memudahkan banyak hal. Demokrasi berkembang dengan baik pada masa kemudahan teknologi seperti sekarang ini

Kemudahan itu membawa konsekwensi lainnya, yaitu kebebasan berargumen yang cenderung tidak terkendali di banyak media sosial. Seseorang seakan punya media massa sendiri untuk mengumumkan kepada publik soal pandangan seseorang terhadap sesuatu atau sekarang membuat publik tahu bahwa dia sedang makan malam di mana atau sedang pesiar di mana. Seseorang  yang tidak punya kualifikasi meilih dan memilah konten mampu terus menerus memproduksi konten tanpa batas di media sosial.

Akibatnya apa ? Kekacauan di ranah informasi.

Contoh yang paling nyata dan pernah terjadi di negara kita adalah ujaran kebencian (hate speech). Ujaran kebencian bisa berupa tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan dari satu pihak ke pihak lain yang mungkin berbeda. Ujaran kebencian biasanya menyangkut ras, warna kulit, gender, fisik, agama, etnis atau bahkan kewarganegaraan.

Jika beberapa tahun lalu ujaran kebencian itu kita bisa temukan saat kontestasi politik namun sekarang bisa kita temukan di banyak pihak atau personal. Mulai dari masyarakat biasa sampai politikus. Mulai dari penyanyi sampai ustaz.

Baru-baru ini kita menemukan kasus ujaran kebencian yang ditujukan kepada ustaz Bahar Smith dan Ferdinan Hutahaen, dengan dua kasus yang berbeda. Ujaran kebencian yang pertama disampaikan melalui ceramah kepada umat dan kedua adalah kasus penghinaan agama berupa cuitan di media sosial twitter, harus berakhir di tangan polisi untuk diproses hukum.

Ini menunjukkan bahwa demokrasi dan kemudahan teknologi juga harus diikuti dengan saringan nalar dan kesantunan yang pantas. Demokrasi bukan berarti bisa berbicara apa saja sehingga membuat orang atau pihak lain tersakiti.  Demokrasi kita bukan demokrasi barbar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun