Setiap manusia pasti memiliki ego. Setiap manusia pasti memiliki sifat negatif. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Dan setiap manusia juga pasti pernah melampiaskan amarahnya.Â
Untuk itulah, semuanya itu harus dikendalikan. Kalau perlu ditanggalkan, agar tidak mengganggu tatanan kehidupan sosial dan masyarakat.Â
Terlebih di masa pandemi ini, semestinya  tidak ada yang mengedepankan ego, tidak ada yang merasa paling benar, atau tidak ada yang merasa paling sehat. Sifat merasa 'paling' ini merupakan bentuk ego yang harus dibuang jauh-jauh.
Egoisme dalam diri ini seringkali memanfaatkan apa saja mulai dari hal yang bersifat sosial hingga agama. Tak jarang pribadi yang egonya tinggi, juga akan memiliki rasa benci yang tak terkendali. Ketika kebencian tak terkendali, akan melahirkan amarah yang membabi buta. Pada titik inilah logika tidak bisa berjalan secara utuh. Dinasihati, diberitahu yang benar tidak akan bisa karena logikanya sudah tertutup dengan kebencian. Mari pelan-pelan kikis egoisme yang masih melekat dalam diri kita masing-masing.
Ingat, Allah SWT meminta hambanya untuk berlomba berbuat kebaikan. Tidak boleh ada yang saling menebar kebencian, provokasi, apalagi tindakan intoleran. Karena terpapar propaganda radikalisme, tidak sedikit dari manusia yang berlindung dibalik agama, tapi justru menebar kegaduhan, menebar kebencian dan menebar teror dimana-mana. Lihatlah apa yang terjadi di media sosial saat ini. Begitu vulgar kita saling menjelekkan antar sesama.
Ingat, kita semua pada dasarnya bersaudara dan sama di mata hukum dan Tuhan. Yang membedakan hanyalah kadar ketakwaan dan keimanannya. Karena posisi kita sama, maka tidak boleh saling merendahkan. Tidak boleh saling mengecilkan apalagi mendiskriminasikan dan menghakimi. Penghakiman ini tanpa disadari seringkali terjadi. Padahal manusia tidak punya hak sama sekali menghakimi orang lain tanpa alasan apapun. Istilah sesat, kafir, musuh Allah, dan segala macamnya, seringkali dimunculkan. Akibatnya, orang yang mendapatkan label tersebut seakan benar-benar tidak ada gunanya dan diperbolehkan mendapatkan kekerasan sebagai bentuk hukuman.
Semangat berkurban ketika Idul Adha, harus terus dijaga dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam masa pandemi ini. Sebelum kita berkurban kambing atau sapi, pasti kita akan berjuang untuk mengumpulkan uangnya terlebih dulu. Dan ketika uangnya sudah terkumpul, terkadang kita jadi bimbang, apakah akan dibelikan sesuatu atau dikurbankan. Disinilah kita belajar berkurban.
Begitu juga di masa pandemi ini, kita semua perlu berkurban untuk kesehatan negeri ini. Bisa jadi kita semua sekarang ini sedang diuji, seperti halnya Nabi Ibrahim mendapatkan ujian untuk menyembelih anaknya. Jika kita melihat perjalanan selama pandemi ini, tidak sedikit dari masyarakat yang masih mengedepankan egonya. Diawal pandemi penolakan jenazah pasien covid-19 pernah terjadi. Tenaga medis ketika pulang ke rumah mendapatkan diskriminasi karena dianggap menyebarkan virus. Sementara masyarakat yang menolak, merasa paling bersih, paling sehat sampai tidak menghiraukan pentingnya masker. Kini, hampir semua orang berpotensi menjadi korban.
Mari introspeksi diri. Mari belajar dari apa yang telah terjadi. Tanggalkan ego yang masih melekat dalam diri. Provokasi di media sosial jelas tidak ada manfaatnya dan tidak perlu kita jadikan dasar. Mari perkuat diri dengan literasi, agar tidak mudah terpengaruh dengan informasi yang belum tentu benar. Salam