Di dunia bisnis, penghindaran pajak atau tax avoidance adalah strategi umum yang digunakan perusahaan untuk mengurangi kewajiban pajaknya dan meningkatkan keuntungan. Praktik ini sebenarnya masih dalam batas legal karena memanfaatkan celah dalam regulasi perpajakan. Namun, meskipun sah secara hukum, penghindaran pajak sering kali menjadi perdebatan karena di satu sisi menguntungkan perusahaan, tetapi di sisi lain merugikan negara. Banyak perusahaan besar di Indonesia menerapkan strategi ini demi mengurangi beban pajak mereka. Akibatnya, pendapatan negara yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan kualitas pendidikan, dan menyediakan layanan publik menjadi berkurang.
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena penghindaran pajak (tax avoidance) semakin menjadi perhatian global. Praktik ini sering kali dilakukan oleh perusahaan multinasional yang memanfaatkan celah hukum untuk meminimalkan beban pajak mereka. Skandal perpajakan yang melibatkan perusahaan besar seperti Google, Amazon, dan Apple semakin menguatkan urgensi untuk meningkatkan pengawasan terhadap praktik ini (Francois & Vicard, 2023). Di Indonesia sendiri, tax avoidance menjadi salah satu tantangan utama dalam optimalisasi penerimaan negara. Meskipun secara hukum tidak tergolong ilegal, praktik ini dapat merugikan negara karena mengurangi penerimaan pajak yang seharusnya digunakan untuk pembangunan (Mappadang, 2021).
Salah satu elemen yang mempengaruhi tingkat penghindaran pajak (tax avoidance) di perusahaan adalah tata kelola perusahaan (corporate governance). Penerapan tata kelola yang baik dapat menurunkan praktik penghindaran pajak dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan perusahaan (Zahrawani & Sholikhah, 2021). Oleh karena itu, pe,mahaman yang lebih mendalam mengenai hubungan antara tata kelola perusahaan dan tax avoidance menjadi penting untuk mengembangkan kebijakan yang efektif dalam mencegah praktik ini.
Teori Agensi dan Tax avoidance
Teori agensi menguraikan hubungan antara pemilik (principal) dan manajer (agent) dalam sebuah perusahaan. Dalam konteks tax avoidance, konflik kepentingan dapat muncul ketika manajemen berusaha menekan pembayaran pajak untuk meningkatkan nilai perusahaan, sementara pemegang saham dan otoritas pajak menginginkan kepatuhan penuh terhadap regulasi perpajakan (Adityamurti & Ghozali, 2017). Struktur tata kelola perusahaan seperti dewan komisaris dan komite audit memiliki peran penting dalam mengurangi potensi konflik kepentingan ini (Junianingsih, Pradnyani, & Artaningrum, 2024).
Tata Kelola Perusahaan dan Tax Avoidance
Corporate governance merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan agar dapat dikelola secara efisien dengan mempertimbangkan kepentingan semua pemangku kepentingan (Yesica, Sitorus, & Purwanto, 2020). Prinsip-prinsip dasar tata kelola perusahaan meliputi transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kewajaran (Nugraha, Wahyudi, & Supranoto, 2024). Penerapan tata kelola yang baik dapat meningkatkan kinerja perusahaan serta mengurangi risiko praktik tax avoidance (Shabrina, Putri, Fitriyani, Ananda, & Dewi, 2024).
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu memperkuat regulasi perpajakan dan meningkatkan transparansi dalam pelaporan keuangan perusahaan. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan menerapkan kebijakan anti-tax avoidance yang lebih ketat, seperti aturan terkait transfer pricing dan pembatasan penggunaan tax havens. Selain itu, perusahaan juga perlu menyadari pentingnya etika bisnis dalam menjalankan aktivitas mereka. Dengan tata kelola perusahaan yang lebih baik dan transparan, praktik tax avoidance dapat dikurangi, sehingga negara dapat memperoleh pendapatan pajak yang lebih optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam artikel ini ada beberapa indikator tata kelola perusahaan yang berpengaruh terhadap praktik tax avoidance meliputi:
- Komisaris Independen: Pengawas Netral dalam Perusahaan
Komisaris independen memiliki peran penting dalam memastikan perusahaan menjalankan kebijakan perpajakan secara transparan dan sesuai aturan. Sebagai pihak eksternal yang tidak terlibat langsung dalam operasional perusahaan, mereka dapat memberikan pengawasan yang lebih objektif. Penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak komisaris independen dalam struktur perusahaan, semakin kecil kemungkinan perusahaan melakukan penghindaran pajak (Sarlen & Norsita, 2024).
- Kepemilikan Institusional: Tekanan Investor untuk Transparansi
Ketika sebagian besar saham perusahaan dimiliki oleh institusi seperti bank atau perusahaan investasi, perusahaan cenderung lebih berhati-hati dalam menyusun laporan keuangan dan perpajakannya. Investor institusi biasanya menuntut transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi, sehingga perusahaan lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan praktik penghindaran pajak (Munirah, 2024).
- Komite Audit: Mengawal Keuangan agar Tetap Sesuai Aturan
Komite audit bertugas memastikan laporan keuangan perusahaan disusun sesuai standar yang berlaku, tanpa manipulasi yang dapat merugikan negara. Dengan adanya komite audit yang bekerja secara efektif, perusahaan lebih cenderung mematuhi aturan perpajakan dan menghindari praktik penghindaran pajak yang berisiko tinggi (Novi Susilowati & Andi Kartika, 2023).
- Kualitas Audit: Standar Ketat untuk Mencegah Celah Pajak