Siapa yang tidak punya media sosial? Hampir setiap orang di era sekarang pasti memilikinya. Tik-Tok, Instagram, Facebook atau lainnya pasti ada di menu aplikasi handpone kita.
Terlebih pengoperasiannya tidak rumit-rumit amat, tinggal install, media sosial sudah bisa digunakan. Dari yang berumur hingga paling muda sangat familier dengan media sosial tersebut.
Tak terkecuali guru, di berbagai platform media sosial ada saja sosok guru. Dari mulai konten jedag-jedug, joget-joget, jualan hingga konten pembelajaran tak luput dari sosok guru.
Terbaru ada kasus yang menyorot guru gara-gara media sosial, bahkan menjadi headline media nasional dengan judul “Guru Sibuk Ngonten Tik-Tok, Siswa Gagal SNPB”. Atau platform media sosial yang menampilkan sosok guru dan siswa dengan konten jauh dari nilai-nilai kesopanan dan kesusilaan.
Selain kasus-kasus di atas, beberapa waktu lalu juga booming istilah “Guru Badut” yang ditulis oleh Iman Zanatul Haeri.
Iman Zanatul Haeri mengolongkan Guru Badut sebagai guru yang berjoget-joget atau menyanyi di berbagai platform media sosial untuk menghibur muridnya sehingga memperlihatkan pembelajaran lebih menyenangkan.
Lebih tajam, Iman Zanatul Haeri menyoroti guru badut sebagai guru yang bermutasi menjadi guru kreator konten sehingga sibuk merekam dirinya dan akhirnya meninggalkan kelas.
Berbagai kasus dan sorotan tajam tentang guru dalam bermedia sosial harusnya menjadi introspeksi dan bahan renungan bagi guru. Kenapa?
Ki Hajar Dewantara berpesan, guru haruslah memiliki sifat “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” (di depan memberi contoh, di tengah memberi inspirasi dan di belakang memberi dorongan).
Oleh karena itu ditengah gempuran media sosial seperti saat ini, guru harus bijak dalam menggunakannya. Jangan sampai guru yang harusnya digugu dan ditiru jadi haus viewers dan like.