Semenjak Pak Abdul Mu'ti menggantikan Mas Nadim Anwar Makarim sebagai Mentri Pendidikan Republik Indonesia santer beredar tentang isu kembalinya Ujian Nasional (UN) kesistem pendidikan kita.
Bila merunut penghetiannya, tahun 2020 merupakan tahun terakhir dilaksanakannya Ujian Nasional (UN) yang kemudiaan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survai Karakter pada tahun 2021.
Salah satu alasan utama Ujian Nasional (UN) dihentikan adalah karena materi Ujian Nasional (UN) Â dianggap terlalu padat sehingga fokus siswa cendrung menghafal dan tidak linier dengan kompetensi belajar.
Selain itu Ujian Nasional (UN) dihentikan karena hanya fokus pada aspek kognitif saja sehingga menimbulkan stress pada guru, siswa dan orangtua.
Saat ini jika kita menelusur pada awal penghentian Ujian Nasional (UN), sudah hampir 4 tahun siswa di berbagai jenjang pendidikan dasar dan menengah tidak melaksanakan Ujian Nasional (UN).
Lalu apa dampaknya?, jika harus mengulas maka ingatan saya terhampar suasana ketika detik-detik Ujian Nasional (UN) menjelang baik dari Tingkat SD/MI/SMP/MTs dan SMA/MA sederajat.
Waktu itu memang ada pengetatan belajar baik dari orangtua atau sekolah. Saya ingat waktu itu ada istilah jam ke 0 yang dilakukan dari jam 06:00-07:00 WIB.
Kegiatan itu dilakukan dengan membahas soal-soal Ujian Nasional bersama dengan guru sesuai dengan mata pelajaran yang diujikan.
Bahkan saya masih ingat ketika Bapak membelikan buku "detik-detik UN" agar saya lebih banyak berlatih soal-soal serta menguasai materi untuk persiapan Ujian Nasional (UN).
Hasilnya, Ujian Nasional (UN) dari tingkat SD, SMP, dan SMA dapat saya lewati tanpa ada kecurangan dan murni dari hasil belajar baik bersama dengan guru, rekan dan orangtua.