Mohon tunggu...
Nadine Putri
Nadine Putri Mohon Tunggu... Lainnya - an alter ego

-Farmasis yang antusias pada dunia literasi, anak-anak, dan kamu. Penulis buku novela anak Penjaga Pohon Mangga Pak Nurdin (LovRinz 2022).

Selanjutnya

Tutup

Diary

Susahnya Menulis Sastra

25 Januari 2021   17:30 Diperbarui: 25 Januari 2021   17:38 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Saya baru masuk dan main-main di dunia literasi sejak pertengahan tahun 2018---masih anak kemarin sore dan bau kencur. Saya memulainya dengan bergabung grup-grup literasi di media sosial. Menyenangkan belajar di sana. Selain bisa belajar dari tulisan para penulis yang duluan menekuni bidang literasi (tentu saja gratis, meskipun ada pula yang berbayar), kita juga bisa mendapatkan kritik dan saran di grup-grup tersebut. Walau kenyataannya jika tulisan kita masih ancur sekali dan isinya mengundang kontroversi, maka bukan mustahil ia akan banyak mendapatkan hujatan online dari mereka yang tak jarang membuat sakit hati secara nyata. Yaaa setidaknya itu pengalaman saya dulu hehe...

Namun makin lama saya berpikir, apakah mungkin tulisan saya akan 'begini-begini terus'? Apa saya tidak kepengin gitu, tulisan saya nantinya bisa menjadi novel? Atau setidak dimuat di koran nasional. Bagi kebanyakan penulis pasti itu merupakan cita-cita---kebanyakannya sih, begitu. Nah, untuk itu saya mencoba memperbaik tulisan agar bisa menulis secara profesional dengan mengikuti kelas menulis. Ah, saat ini banyak sekali kelas seperti itu di media sosial. Tentu saja cara belajarnya secara online. Sekali lagi, ada yang gratis dan banyak pula yang berbayar. 

Ternyata masalah saya tidak berhenti di situ. Dengan belajar menulis otomatis saya jadi tahu teori-teori menulis yang baik itu bagaimana. Namun, lagi-lagi saya merasa galau. Ternyata semakin kita mengetahui teori maka semakin takut kita untuk menulis. 

Kenapa bisa begitu? Ini pengalaman saya, ya, setelah mengetahui teorinya, yang saya rasakan adalah saya malu sekali dengan tulisan saya. Begitu buruk dan tidak jelas ceritanya. Belum lagi cara bercerita yang kurang fokus dan 'norak'. Benar, saat itu (bahkan hingga saat ini) saya sering menangis gemas membaca tulisan saya sendiri dan entah kenapa bisa seperti itu. 

Sampai di sini saya kembali berpikir. Jangan-jangan hal ini terjadi karena saya malas membaca buku. Setelah saya banyak bertanya dan mencuri tahu cara belajar mereka ... benar saja! Saya begitu malas membaca buku. Terlebih buku 'bagus'---buku-buku sastra. Oh Tuhan, membayangkannya saja saya sudah pusing duluan. Tetapi nurani saya berkata, ini harus saya paksa, harus! Tidak bisa tidak. Jika memang tujuan kita belajar menulis secara sastrawi, maka modal kita tentu saja harus banyak membaca buku-buku sastra. 

Pertanyaan saya selanjutnya adalah: sampai berapa lama hal ini harus saya lakukan? 

**

Nuke Soeprijono_mantan farmasis yang baru belajar menulis. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun