Mohon tunggu...
Nadine Putri
Nadine Putri Mohon Tunggu... Lainnya - an alter ego

-Farmasis yang antusias pada dunia literasi, anak-anak, dan kamu. Penulis buku novela anak Penjaga Pohon Mangga Pak Nurdin (LovRinz 2022).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Jodoh untuk Ibu

19 Januari 2021   11:15 Diperbarui: 23 Januari 2021   18:30 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (thelifesquare.com)

Aku terkadang heran melihat Ibu. Bagaimana bisa ada wanita hatinya sesantai beliau. Hidupnya seperti penuh penerimaan. Ada rezeki sedikit, beliau terima dengan senang hati. Dapat rejeki banyak, beliau juga bahagia setengah mati. 

"Supaya hidup tenang, kita harus selalu bersyukur atas segala keadaan," katanya. 

Akhir tahun nanti, genap 120 bulan Ibu hidup tanpa seorang suami di sampingnya. Seingatku, Ayah dulu meninggal waktu aku berumur delapan. Iya, sekarang aku berumur delapan belas. Apakah kalian ada yang berminat kenal lebih serius denganku? Hmm, sebaiknya nanti dulu, ya, biar ibu dulu yang menikah. Toh, saat ini aku juga masih fokus kuliah.

Baiklah, kembali soal ibu. 

Di rumah hanya ada aku satu-satunya teman bagi ibu. Termasuk teman tidur. Yaa … meskipun berbeda kamar, tetapi suaraku jika bernyanyi, cukup menghibur. Terkadang ibu sampai menggedor pintu kamarku juga. Sebab berisik, katanya.

Maklum, kami beda selera musik. Ibu sukanya musik instrumen yang mendayu-dayu. Sedangkan aku, suka menaikkan volume tinggi-tinggi jika mendengar lagu indie. Tapi, setidaknya itu bisa menghilangkan suasana sepi di rumah. Sepi dalam arti sesungguhnya, menurutku begitu, entah bagi ibu.

Sehari-hari kegiatan ibu padat. Mulai dari mengaji, membuat kue untuk dititipkan ke tetangga, memasak besar jika ada pesanan, bahkan sampai berjualan barang apa saja secara online. Semua ibu kerjakan dengan senang hati.

Pokoknya beliau wanita tangguh yang pantang menyerah. Aku sangat menyayanginya. Iyalah, harus sayang, aku bisa sekolah dan kuliah hingga saat ini juga berkat usaha ibu. Beliau tumpuan hidupku, harapanku, juga pintu surgaku. 

Pernah aku ingin bekerja paruh waktu, tetapi ibu melarang. "Kamu kuliah saja yang benar," katanya saat itu.

Apakah kalian ada yang ingin tahu, ibuku punya pacar atau tidak? Hmm, bukan pacar, mungkin lebih tepatnya calon suami. Karena aku yakin, ibu pasti berpikir bahwa beliau tidak muda lagi yang masih ingin main-main dengan pacar. Ah, jangankan ibu, aku sendiri saja malas. Haha, bercanda. Aku bohong untuk hal ini.

Ibu … sebenarnya aku sangat ingin ibu menikah lagi. Mempunyai ayah baru sepertinya bukan hal buruk. Toh ini kehidupan nyata, bukan dongeng atau cerita sinetron tentang ayah tiri yang bejat. Mencobanya bukan suatu dosa menurutku.

Jika Tuhan masih memberi jodoh, harus kita terima dengan penuh syukur, kan? Ah, apakah aku mulai sok tahu? Tapi, setidaknya begitu pemikiranku. 

Suatu hari aku pernah bertanya pada ibu. Apakah di hidupnya sudah ada lelaki calon ayah baruku. Saat itu ibu sedang mengaduk tepung dan telur untuk dijadikan kue bolu.

"Memangnya kenapa, Putri? Kamu sepertinya kepingin banget, ya, punya ayah baru?" Ibu menjawab sambil lalu dengan tangan terus memegang mixer. 

"Ibu sudah terlalu lama sendiri. Masih cantik juga. Ibu mau kan, ada yang menemani di hari tua nanti?" ucapku dengan wajah berharap dan tersenyum polos memamerkan deretan gigiku yang kurang rapi. Iya, gigiku memang tidak sebagus ibu.

Sebenarnya sudah lama aku ingin memberi pagar pada deretan gigiku. Tetapi, yang paling aku inginkan adalah masa tua ibu tidak kesepian. Setidaknya ada teman bicara setiap hari agar kegiatannya tidak melulu dengan benda-benda mati. 

"Ibu bukan tidak mau punya suami lagi, Putri. Ibu cuma belum menemukan yang benar-benar layak untuk menggantikan almarhum ayahmu," jawab ibu sambil menyalakan kompor dan meletakkan oven tangkring di atasnya.

"Semua yang mendekati ibu, kebanyakan tidak serius. Hanya untuk menghilangkan rasa sepi tanpa ada kejelasan ke depannya. Setiap ibu tanya mau dibawa hubungan ini, rata-rata mereka tidak bisa menjawab. Ya, Ibu malas dong?!"

"Trus, ibu tinggalin?"

"Iya lah! Ngapain lama-lama kalo memang mau serius? Yang ada ntar nambahin dosa," jawab ibu yakin. 

Aku hanya menghela napas. Antara kagum dan kasihan padanya. Mungkin saat ini memang Tuhan belum mempertemukan ibu dengan jodohnya lagi. Tapi, jika aku boleh meminta, aku ingin ayahku besok dokter gigi saja. Biar gigiku yang kurang rapi ini bisa dipagari dengan gratis. Hehe. 

Boleh, ya, Tuhan? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun