Mohon tunggu...
Nuha Hanifah
Nuha Hanifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Hallo!

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

[Resensi] Kisah Teladan dari Si Anak Badai

1 Oktober 2019   20:21 Diperbarui: 1 Oktober 2019   20:32 1940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://bukurepublika.id

Judul: Si Anak Badai
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika Penerbit
Cetakan: Pertama, Agustus 2019
Tebal: iv+318 Halaman
ISBN: 978-602-5734-93-9

Buku-buku karya Tere Liye memang tidak pernah mengecewakan, termasuk karya terbarunya yang satu ini. Buku ini merupakan buku ke enam dari Serial Anak Nusantara, berbeda dengan keluarga sebelumnya, kali ini menceritakan keluarga Mamak Fatma, Bapak Zul, dan tiga anaknya, Za, Fatah dan Thiyah.

Di Kampung Manowalah cerita ini bermula, rumah-rumah warga, masjid, bahkan sekolah, berada di atas air dengan tiang-tiang sebagai penyangga. Mereka menggunakan perahu kecil untuk bepergian juga terdapat jembatan dari kayu ulin sebagai penghubung ke daratan atau dari rumah satu ke rumah lainnya. 

Setiap hari libur, geng Si Anak Badai yaitu Za, Ode, Malim, dan Awang  gemar menanti kapal di bale pinggir sungai, sekali kapal terlihat dan membunyikan klakson, mereka bergegas menyelam, melambai-lambai pada penumpang kapal agar melemparkan koin ke bawah, kemudian mereka berloma-lomba menangkapnya. Di antara mereka, Awang yang paling pandai berenang dan menyelam.

Namun situasi berubah sejak kedatangan Pak Alex, anak-anak Kampung Manowa menyebutnya Bajak Laut, karena matanya ditutup satu. Pak Alex menginginkan Kampung Manowa dijadikan pelabuhan besar sebab letaknya yang strategis, sekolah-sekolah dihancurkan, rumah warga dipindahkan dengan semena-mena, bahkan Pak Kapten yang berusaha mencegah hal tersebut pun ditangkap. Tapi semua itu batal akibat keberanian dan ide cerdas geng Si Anak Badai, mereka mencari cara untuk mempertahankan Kampung Manowa.

Buku ini menyajikan begitu banyak pesan moral, persahabatan, pendidikan, gotong-royong, dan kekeluargaan. Serta yang tidak akan terlewatkan adalah bab Seberapa Besar Kasih Sayang Mamak. Pernah Mamak memasak tumis kangkung namun hambar rasanya, tempe goreng gosong, tidak membuat sarapan karena sibuk menjahit baju kurung ibu-ibu grup rebana. Tapi di sinilah tokoh Bapak berperan, Bapak selalu memuji masakan Mamak, bilang bahwa masakannya lezat.

"Kalian lihat sendiri, Mamak menjahit siang dan malam. Mamak pasti capek. Mesin perahu saja kalau dipaksa menyala terus-menerus akan sangat panas. Bisa-bisa meledak. Padahal itu mesin perahu, yang kerjanya itu-itu saja. Oi, Mamak sebaliknya, dia juga harus mencuci baju, menyetrika, membersihkan rumah, menyiapkan makanan. Mamak melakukan segalanya di rumah ini, bukan? Hebatnya, mamak kalian melakukan hal yang luar biasa itu di tengah kesibukannya menjahit. Maka rasa hambar yang tidak enak itu di lidah Bapak malah terasa lezat," (Hal 122).

Tere Liye juga mengangkat kisah Nabi Nuh dengan kapal besarnya, menjelaskan dengan bahasa yang lembut bahwa di dunia ini banyak yang kita tidak ketahui, mengapa salat magrib tiga rakaat, sementara salat subuh dua rakaat. Mengapa ikan bisa berenang, sementara burung bisa terbang.

Ilmu Allah sangat luas, ibarat kita mencelupkan telunjuk kita di laut, lalu kita angkat telunjuk itu, maka air yang menempel di telunjuk kita adalah ilmu yang Allah anugerahkan. Sedangkan air lautan yang tak terhingga banyaknya, itulah ilmu Allah. (Hal 58)

Nilai pendidikan juga diselipkan lewat kisah Malim yang mendadak tidak masuk sekolah, sudah sebelas hari Malim bolos. Za, Ode, dan Awang selalu menemui Malim, di rumahnya, di pinggir sungai, untuk membujuknya agar mau kembali ke sekolah, sampai-sampai Malim mendorong Za hingga tercebur ke sungai saking geramnya, namun mereka tidak menyerah, seperti kata Bu Rum, seorang teman tidak akan meninggalkan temannya sendirian, (Hal 191).

Ternyata Malim menganggap sekolah itu tidak penting. Malim memilih mencari uang setiap hari, menunggui kapal, memancing, hingga Malim kelelahan dan tenggelam saat melambai pada penumpang. Berkat pertolongan teman-temannya yang setia dan tak pernah meninggalkan, Malim akhirnya mau kembali ke sekolah.

Buku yang sangat menginspirasi dan menyentuh para pembaca, cerita yang dikemas dengan sangat  menarik, cocok dibaca untuk semua kalangan. Dengan keunikan karakter tokoh-tokohnya, Tere Liye mencoba menjawab pertanyaan yang biasa dilontarkan anak-anak, mengapa sekolah itu penting, mengapa rezeki setiap orang berbeda-beda.

Di antara kesibukan dan keterbatasan fasilitas, warga Kampung Manowa selalu salat berjamaah di masjid, anak-anak rutin mengaji selepas magrib di rumah Guru Rudi. Pembaca dapat terbawa suasana dalam cerita, keluarga yang kompak, kehidupan yang sederhana, persahabatan yang setia, juga kerukunan warga kampung.

Bahasa yang digunakan pun mudah dipahami anak-anak yang membacanya. Buku ini sangat memberi teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Diresensi Nuha Hanifah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun