Senyampang bulan Ramadan, saya ingin berbagi cerita sedikit mengenai muslim Iran. Sebagian dari muslim Indonesia, ada penanaman yang kurang pas mengenai mereka. Misalnya dikatakan sebagai syiah, beda dengan sunni, militan, revolusioner, nikah mut'ah, dan sebagainya.
Ada stigma kurang nyaman mengenai mereka. Sehingga, ketika saya berinteraksi dengan Iranian - sebutan lazim orang Iran -, saya merasa kurang nyaman juga.
Hebohnya, justru mereka sangat senang ketika bertemu dengan kami, muslim Indonesia di Swedia ketika itu.
"Hi Brother.... nice to meet all of you..the biggest muslim country aof the world, "sambut mereka kepada kami.
Saya terperangah sesaat. Begitu bersahabat.
Selanjutnya, saya mulai berinteraksi dan banyak berdekatan dengan mereka. Selain saya juga aktif di Student Council, juga ada interaksi dalam kegiatan bersama, tidak hanya dengan Iranian, namun juga muslim Oman, Uni Arab Emirat, SRi Lanka, dan lainnya.
Saya lebih heran, ketika sahabat saya orang Oman, yang notabene Arab Sunni, tampak akrab dengan Iranian tersebut.
Beberapa poin saya dapatkan sebagai berikut;
1. Stigma negatif dan manajemen konflik tangan tersembunyi. Rupanya saya termakan kampanye negatif mengenai Iran oleh tangan-tangan tidak kelihatan. Dari interaksi dengan mereka, sungguh kita dihadapkan pada kenyataan; bagaimana mungkin perang Iran - Irak yang 8 tahun lebih, Irak dulu didukung Amerika, selanjutnya ditumbangkan oleh oleh Amerika?
Iran, sebelum revolusi Khomeini, adalah sekutu dekat Amerika. Setelah revolusi, sanksi ekonomi berjalan dan secara politis dimusuhi oleh negara paman Sam ini. Bukankah faktor pemicunya ekonomi?