Teriring doa, semoga yang gugur menjadi syahid di jalan Nya. Sekilas hanya sekedar tembakan. Benih terorisme dalam bentuk lain, yakni prasangka atas nama invasi berbau agama dalam bentuk banjir migran di negara Eropa, maupun negara yang "dikelola" oleh bangsa keturunan Eropa. Dalam hal ini, termasuk Australia dan Selandia Baru. Kedua pemerintah tersebut, pada dasarnya terbuka terhadap demokrasi. Demokrasi berarti jaminan untuk merdeka berbeda. Tidak harus sama. Negara ini juga menjadi salah satu negara dengan penduduk paling bahagia di dunia. Makanan halal bagi muslim, juga mendapatkan tempat yang baik. Ada festival khusus, dan memperkaya khasanah budaya setempat. Migran dan non migran hidup berdampingan.
Namun apa jadinya ketika terjadi penembakan 50 tewas 15 Maret 2019 yang lalu?
Benih itu ternyata masih subur. Alih-alih dituduhkan ke muslim, justru muslim yang "dibantai" tanpa perlawanan.
Salah siapa?
Bagaimana mencegahnya agar itu tidak terjadi lagi?
Beberapa saat sebelumnya. Paus Benediktus sudah bersalaman dengan penguasa Uni Arab Emirat dalam sebuah protokoler yang damai dan saling menghargai. Lantas, mengapa ini bisa terjadi?
Berbeda dengan tuduhan adanya prasangka agama, saya memilih mengkambinghitamkan atas kepemilikan senjata api. Prasangka, adalah rahasia hati. Dia bisa dikelola, meski tidak bisa sama sekali mati. Mungkin, hanya bisa nampak dalam wajah tidak ramah. Sinis. Atau, agresivitas verbal.
Namun jika itu didampingi dengan kepemilikan senjata api, jadilah seperti di Selandia Baru.
Di Indonesia, prasangka mungkin lebih terpendam. Bukan tidak bahaya. Sangat bahaya. Namun karena tidak didukung kepemilikan senjata api oleh sipil. Alhamdulillah, masih aman.
Bayangkan jika senjata api beredar legal meluas. Bukan tidak mungkin kita saling berperang.
Jadi, baiklah, yang salah adalah senjata api.