Mohon tunggu...
Dr. Nugroho SBM  MSi
Dr. Nugroho SBM MSi Mohon Tunggu... Dosen - Saya suka menulis apa saja

Saya Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Redenominasi Rupiah: Apa, Mengapa, dan Dampaknya

8 Juli 2020   22:39 Diperbarui: 8 Juli 2020   22:36 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

AKHIR-AKHIR ini diskusi tentang redenominasi rupiah kembali menguat setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomer 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementrian Keuangan tahun 2020-2024 yang salah satu diantaranya mencantumkan rencana Redenominasi Rupiah. 

Sebenarnya Draft Rencana Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi Rupiah) sudah lama ada hanya belum disahkan menjadi Undang-undang dan belum masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Sebenarnya isu redenominasi rupiah sudah lama diwacanakan. Seingat saya tahun 2009-2013, pada jaman Darmin Nasution sebagai Guberur BI

Kekhawatiran utama masyarakat terhadap kebijakan redenominasi rupiah ini adalah karena mereka menyamakan kebijakan ini dengan pemotongan nilai uang atau sanering, seperti dilakukan pemerintah pada 1965. Ketika itu terjadi inflasi tinggi sehingga pemerintah ''memotong'' uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.

Tetapi sebenarnya ada perbedaan mendasar antara sanering dan redenominasi. Pada kebijakan sanering, nilai nominal uang rupiah disederhanakan tetapi harga-harga tetap. Tidak salah bila ada anggapan kebijakan sanering mempunyai dampak ''memiskinkan'' mereka yang kekayaannya sebagian besar berupa uang tunai.

Sebaliknya, dalam kebijakan redenominasi, nilai nominal rupiah disederhanakan (menurut rencana 3 nol di belakang dihilangkan, jadi uang lama Rp 1.000 nantinya akan menjadi Rp 1 uang baru) tetapi juga diikuti dengan penyederhanaan harga-harga.


Alasan
Seperti disebutkan dalam RUU Redenominasi Rupiah (RUU Perubahan Harga Rupiah) ada dua alasan redenominasi rupiah.

Pertama, untuk efisiensi. Dengan menghilangkan tiga nol dalam nominal rupiah maka akan mempercepat waktu transaksi, menghindarkan human error, dan efisiensi dalam pencantuman harga barang dan jasa.

Kedua, redenominasi menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit Rupiah.

Dampak
Dari sisi sejarah dan pengalaman negara lain, redenominasi biasanya dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi tinggi atau hyper inflation. Tetapi semua orang juga tahu bahwa saat ini inflasi di Indonesia relatif rendah atau moderat karena masih di bawah 10 persen. Jadi redenominasi rupiah memang belum perlu.

Disamping itu, ada dampak negatif yang akan timbul dari redenominasi rupiah.

Pertama; dampak psikologis dari masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Masyarakat kecil pasti merasa panik menghadapi kebijakan ini. Hal ini wajar karena kekayaan mereka, sebagian besar atau bahkan seluruhnya, berbentuk uang tunai. Mereka khawatir harta satu-satunya tersebut akan hilang seperti halnya kebijakan sanering pada 1965.

Kedua; kebijakan redenominasi akan mendorong kenaikan harga. Kenaikan harga tersebut didorong oleh tindakan pengusaha yang membulatkan harga barangnya. Ilustrasinya adalah jika semula harga barang Rp 7.500 maka dalam harga baru setelah redenominasi mestinya adalah Rp 7,5.

Namun kemungkinan besar untuk mempermudah, atau bahkan memanfaatkan kesempatan yang ada, pengusaha akan memasang harga baru Rp 8. Hal ini tentu akan memicu inflasi. Pemerintah memang bisa melakukan tindakan pengawasan untuk menertibkan pengusaha nakal seperti itu tetapi biayanya sangat mahal dan membutuhkan banyak sekali tenaga kerja.

Ketiga; bagi pengusaha maka kebijakan redenominasi akan menambah biaya untuk mengganti daftar harga barang. Keempat; biaya untuk melakukan redenominasi tentu akan sangat besar. Biaya tersebut meliputi biaya sosialisasi, pengawasan, dan pencetakan uang baru, yang sangat besar. Hal ini lagi-lagi akan memicu tingkat inflasi.

Atas dasar dampak yang besar yang tidak bisa dianggap sepele tersebut maka saya termasuk yang tidak setuju dengan kebijakan redenominasi rupiah. Angka nominal rupiah yang terlalu besar sebenarnya menunjukkan belum optimalnya berbagai pihak (yaitu lembaga yang  sekarang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KKSK yaitu BI, OJK, LPS, Kementrian Keuangan dan juga Tim Pengendalian  Inflasi di Daerah atau TPID) untuk menjaga nilai rupiah, baik dalam arti daya belinya maupun nilai tukarnya.

Maka menurut saya lebih baik semua pihak seperti yang telah disebutkan bekerja sama menjaga agar nilai rupiah tetap terjaga daripada melakukan redenominasi rupiah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun