Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Smaradahana Sang Gajah Mada

14 Juni 2021   11:52 Diperbarui: 24 Juni 2021   02:30 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dikutip dari Game Civilization 5/www.kompas.com

Prabu Hayam Wuruk, Sang Maharaja Majapahit, belum pernah merasa tertekan seperti ini. Berturut-turut kesedihan menimpa dirinya. Berapa kali dia bertanya pada dirinya sendiri, apa kesalahannya? Mengapa seolah dewata seperti menghukum dirinya?

Belum satu purnama berlalu saat dia harus kehilangan Dyah Pitaloka, calon permaisurinya, dalam satu kejadian berdarah. Kejadian yang membuatnya sangat marah kepada Mahapatih Gajah Mada, sosok yang selama ini dihormatinya.

Betapa tidak, Mahapatih berani mencegat iring-iringan pengantar Dyah Pitaloka dari tanah Pasundan dan menekan mereka untuk bersumpah setia pada Maharaja sebelum meneruskan perjalanan. Padahal  Hayam Wuruk sama-sekali tidak memberi perintah seperti itu.

Iring-iringan yang dipimpin Raja Pasundan sendiri tentu merasa terhina dan melawan. Tapi mereka bukan tandingan Gajah Mada dan pasukannya. Seluruh rombongan tewas. Dan Dyah Pitaloka sendiri menunjukkan keberanian luar-biasa. Dia memilih bunuh diri daripada menjadi tawanan.

Hayam Wuruk memanggul sendiri jenazah calon permaisurinya. Membawanya ke Majapahit untuk diperabukan. Sepanjang perjalanan, dia sama-sekali mengacuhkan Gajah Mada. Tak mengajaknya bicara. Tak menganggapnya ada. Bahkan berhari-hari setelah itu.

Itu sebuah isyarat yang cukup buat Gajah Mada. Maharaja sudah tidak menghendakinya lagi. Dia pun meletakkan jabatan dan menyingkir dari Majapahit. Tak ada yang tahu ke mana perginya. Tak ada satu pun yang berani bertanya.

Dan sekarang, belum lama setelah petaka itu berlalu, menyusul kabar buruk lainnya. Ibunda Maharaja, Tri Buana Tunggadewi, jatuh sakit. Tabib dari seluruh negeri dikerahkan. Tapi mereka semua akhirnya menggelengkan kepala. Sang ibunda tak akan lama bertahan.

Yang membuatnya makin gelisah adalah pernyataan Empu Tantular, salah satu penasehat utamanya. "Paduka, hamba bukan tabib, tapi mengenal watak manusia. Menurut hamba, ibunda Maharaja tidak terkena penyakit. Sesuatu mengganggu batinnya. Membuatnya hilang semangat hidup."

Hayam Wuruk berkali-kali mencoba mengajak Tunggadewi bicara. Berkali-kali pula sang ibunda menolak. Dan keadaannya semakin parah. Sampai Hayam Wuruk tak bisa mengendalikan diri. Dia mengancam akan menyusul bunuh diri, jika sampai sang ibunda meninggal. Barulah Tunggadewi memutuskan bicara.

"Anakku, aku tahu dirimu masih diliputi kesedihan. Karena itulah aku tak ingin menambah kesedihanmu. Biarlah kesedihanku ini kusimpan sendiri. Meski memakan habis jiwa-ragaku, kurasa ini lebih baik daripada menambah kesedihanmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun