Lalu aku, hanya mencari teman untuk saling mendengar. Randi juga. Waktu yang bicara dan memutuskan. Dan, sialnya, yang terjadi, kami selalu betah berbincang hingga larut malam, berselimut dalam suaka berisi kesamaan selera musik, film, hingga makanan.
Tidak lebih, awalnya.
Namun, lambat laun, aku merasa Randi berbeda. Dia menawarkan kepingan yang aku cari-cari. Meski dia mengaku cukup tua, aku tidak peduli. Darinya, kutemukan kebijaksanaan, ketenangan, kenyamanan.
Belum lagi, keanehan.
Kepada Randi, aku takut kehilangan. Tidak ingin ada perpisahan atau ucapan selamat tinggal. Meski secara alamiah kami saling memanggil "Sayang" dan mulai bicara tentang perasaan, aku tetap buncah.
Masalahnya, pertautan gila tanpa tahu nama, rupa, bahkan usia, akan segera menemui akhir cerita.
Kami memutuskan untuk bertemu hari ini, di kafe ini, di jam ini.Â
Kencan buta pertama. Berakhir bahagia atau nestapa, kita lihat saja.
Randi: Saya sudah sampai, nih. Pakai baju apa, Sayang?
Baru saja aku hendak membalas pesan Randi, telepon genggamku mati. Aku jadi sadar sering melemparkan benda ini berkali-kali. Tapi, kenapa harus sekarang? Huft.
"San?"