Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seorang Penyintas yang Menyalami Rumi di Persimpangan Mati

1 Desember 2018   09:30 Diperbarui: 1 Desember 2018   10:08 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Naik-turun kondisi saya menjadi amat janggal. Psikosomatik. Saya dapat berjalan jauh kala berpikir tentang kebebasan, lantas kembali terengah-engah ketika berhadapan dengan tekanan.

Yang menjadi sangat subjektif.

Tekanan bagi saya, bukan pekerjaan, bukan tumpukan tanggung jawab, bukan pula persepsi orang-orang. Sebagai seorang introver kronis, tekanan selalu timbul dari inti saya sendiri. Ekspektasi.

Berawal dari rasa sakit pada lambung yang menciptakan ketakutan dan kepanikan berlebihan, prasangka-prasangka liar bermunculan. Rasa tidak berdaya dan kebingungan, lantas mengikat jiwa saya semakin erat pada hantaman asam lambung yang semakin gila.

Lingkaran setan, tidak berkesudahan. Terhisap dalam lubang hitam yang justru saya syukuri sebagai jeda untuk mengenal diri dan Ilahi.

Melukis pengalaman romantis. Tahun 2015, saya tumbang selama 6 bulan. Tahun 2016, saya tersengal selama 2 bulan. Dan, tahun 2018, saya lunglai selama 1 bulan.

Konyol, tapi bagi saya, ini sebuah pencapaian. Penurunan waktu yang menunjukkan bahwa saya semakin mahir bertarung. Mengalahkan predator yang tumbuh dalam diri, serta menjinakkan pikiran-pikiran brutal dari alam imajinasi.

Lantas, apa yang menjadi senjata?

Doa dan kesadaran. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengirim Rumi, Ibnu Atha'illah, dan segenap jajaran penyampai pesan di setiap ujung jalan yang saya takuti. Percakapan, pembicaraan, dan perkataan mereka serupa embun pagi. Segar dan murni.

Selama tersesat di bulan ini, saya menyimak khotbah Rumi dan menyalami warisan-warisannya.

Menolong saya terjun bebas, memasuki ruang hampa dan bunuh diri. Mati sebelum mati. Mengenali sasmita takdir yang terkadang deras, terkadang panas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun