Jalinan sinar mata yang tidak lebih dari tiga detik, menjadi bahasa yang kami gemari. Bahkan, sesekali aku dan dia hanya saling memunggungi dan bicara melalui hembusan angin.
Sementara kata-kata, baru hadir ketika kami telah kehilangan sabar untuk saling menebak perasaan.
Dan kini, dua orang yang siap untuk saling melukai, terjebak kinanti di Taman Sriwedari.
Setelah satu tahun bercengkerama di alam virtual, kami adakan sebuah pertemuan, untuk pertama kali. Momen yang terjadi dalam rangka perilisan buku kolaborasi kami di kota yang diselimuti aura magis. Solo.
Kamu dari Malang, aku dari Cimahi, dan kita berjumpa di sana. Studio Lokananta. Rabu. 27 September 2016. Pukul sembilan nol nol.
Ah, Firman ...
Bagaimana mungkin aku melupakan jadwal istimewa itu. Begitu pula aku mengingat getar suaramu yang hangat, bersahabat, dan penuh hal-hal tersirat.
Pada memoriku juga melekat perwujudanmu yang manis dan ikonis, khas santri. Lengkap dengan kopiah dan sarung tenun hijau asal Pemalang. Terasa unik dipadukan dengan aksenmu yang dominan Suroboyoan.
Semua itu, berkoalisi agar aku tidak menolak ajakanmu untuk berbincang di taman eksotis yang menyimpan nyawa kesenian ini. Membicarakan langkah selanjutnya, katamu.
"Kamu percaya cinta pada pandangan pertama, Tan?"
Aku tidak menduga, pertanyaan itu yang kamu lontarkan pertama kali secara lisan. Bukan "apa kabar" atau perkenalan seperti orang normal.