Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Badut yang Menangis di Bawah Hujan

6 Oktober 2018   07:59 Diperbarui: 8 Oktober 2018   17:17 2080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gradasi warna nila, lembayung, dan jingga sudah tiba di langit. Bel sudah terdengar. Menjadi pertanda, sebentar lagi dia akan keluar gerbang. Gadis manis yang kutunggu, berkerudung putih, berseragam putih abu-abu, bermata sayu.

Ah! Itu dia. Tersenyum lebar, berjalan cepat ke arahku. Refleks, aku merapikan rambut sintetis warna pelangi yang bertengger seharian di kepalaku.

"Ning, kami pulang duluan, ya!" seru teman-temannya. Gadis bernama Hening itu mengangguk, melambaikan tangan. Langkah kakinya mendekat, menciptakan debar yang selalu membuatku rindu.

Aku merentangkan tangan, hendak menyambutnya dengan pelukan.

Hening hanya menggeleng, tersenyum. "Assalamu'alaikum," ujarnya. Tangannya menangkup di depan dada.

Tanganku yang merentang segera terkulai. Memasang raut sedih, ikut menangkupkan tangan di depan dada, lalu membungkuk. Setangkai mawar putih menyembul dari sela jari. Aku memegang pipi, menunjukkan ekspresi kaget yang dibuat-buat.

Bak pangeran kepada putri, aku berlutut, menyerahkan mawar itu padanya.

Dia tertawa, renyah. Gurat wajah Hening begitu indah. Dalam hati, aku rela mengorbankan apa saja demi menjaga senyum itu tetap merekah.

"Bisakah sekali-kali kau jawab salamku?" Hening bertanya.

Aku mengendikkan bahu, menggeleng. Berpantomim, mengunci mulut dengan tangan, lalu membuang kuncinya.

"Baiklah, terserah saja. Kau pasti sudah menjawab salamku dalam hati kan."

Aku mengangguk, memegang dada. Bungkusan pipih warna emas, lagi-lagi keluar dari sela-sela jari. Aku membelalakkan mata dengan mulut terbuka, menyerahkan sebungkus cokelat itu padanya.

"Aku sudah dapat bunga hari ini. Cokelat juga?"

Aku menggoyang-goyangkan kepala. Dia tersenyum, namun ada sedikit sendu yang tampak ingin meronta.

"Boleh aku duduk di sini saja? Aku ingin menemanimu menunggu senja. Aku tidak ingin ikut les hari ini. Suntuk."

Aku memegang dagu, berpikir, lalu menggeleng. Mengibaskan tangan, mengusirnya. Hening terlihat tidak senang.

"Ayolah! Sekali ini saja. Aku janji akan sampai di rumah secepatnya. Aku cuma ingin cerita sebentar!"

Aku termenung, tidak ingin dia mangkir dari les Matematika. Tapi, aku juga ingin sekali mendengar Hening bercerita. Terakhir kali, hanya soal kucingnya yang mati karena sudah terlalu tua.

Aku mengangguk pasrah, mengendikkan bahu. Mempersilakan Hening duduk di kursi taman. Sementara aku, duduk bersila di hadapannya, beralaskan rerumputan. Nila di langit makin lebur menjadi merah yang begitu muram. Awan-awan kelabu berarak datang.

"Kenapa duduk di bawah. Duduk di sebelahku sini."

Aku menggeleng. Membuat gestur, memintanya bercerita saja.

"Hm, oke. Terserah," ujar Hening pelan. Berat, ia menarik napas dalam. Matanya yang sendu menenggelamkan matahari di hatiku. Rasanya perih melihatnya begitu.

"Apakah kau punya ayah?"

Aku menggoyang-goyang kepala, mengendikkan bahu. Bahasa tubuh favoritku, jika tidak ingin memberi jawaban.

"Aku benci sekali pada ayahku. Dia menyebalkan. Aku yakin Ibu juga berpikir begitu."

Aku bertopang dagu dengan satu tangan, menyimak. Baju warna-warni berbahan kasar yang kugunakan seperti memanas. Entah karena kondisi termal sekitar, atau tubuhku yang mengalami peningkatan suhu.

"Sejak di-PHK 3 tahun lalu, kerjanya hanya santai-santai saja. Sebelum aku berangkat sekolah, dia baca koran sambil minum kopi. Ketika aku pulang sekolah, dia hanya nonton TV sambil makan kuaci."

Aku bertopang dagu dengan dua tangan, merengut.

"Kau tidak percaya? Sungguh! Setiap hari kami hidup dengan mengandalkan hasil Ibu berjualan gorengan di pasar. Aku benci sekali."

Aku semakin merengut. Jari-jariku membentuk hati, lalu mematahkannya, menggelengkan kepala. Tidak yakin harus merespon seperti apa.

"Kau berusaha bilang apa?"

Aku menggeleng, mengendikkan baju. Menyilakan Hening bercerita lebih lanjut.

"Kau mau tau? Aku pernah bercerita pada Ibu tentang kamu yang selalu memberiku hadiah-hadiah. Bunga, boneka, cokelat. Bisa kau tebak? Ayah memotong uang jajanku! Katanya, aku tidak boleh memberimu uang atau makanan sebagai imbalan. Dia curiga kamu berniat jahat padaku. Argh!" Hening gusar, menghantam kursi taman.

Aku gelagapan, tertunduk, lalu kembali bertopang dagu.

"Aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan. Bukan dia yang mencari uang, bukan dia yang memberiku hadiah, buat apa sok-sok peduli!"

Aku mengangguk-angguk. Mengelus dada, memintanya bersabar. Hening mengatur napas, mulai menangis.

Cepat, aku mengeluarkan sapu tangan kuning, menyerahkan padanya. Belum sampai sapu tangan itu ke tangan Hening, benda itu menghilang lalu berganti dengan setangkai mawar berwarna serupa. Aku tersenyum, Hening juga.

"Aku tidak pernah tahu berapa umurmu. Apakah aku harus memanggilmu Kakak, atau Paman? Aku melihatmu sejak SMP."

Aku memegangi perut buatanku, menunjuk pipiku dengan telunjuk, meringis. Tanganku yang lain membentuk peace, berpose seperti remaja.

Hening tertawa. "Kau alay!" katanya.

Aku tertawa tanpa suara.

"Jika kelak kamu menikah, kamu pasti akan menjadi ayah yang sangat baik."

Aku membentuk hati dengan tanganku, meletakkannya di depan dada, tersenyum.

"Kenapa kau menangis?"

Aku menggeleng.

"Itu ..." Hening menunjuk wajahku.

Refleks, aku memegang pipi. Di tanganku, terlihat lunturan spidol yang kukenakan untuk menghias mata. Hujan mulai turun.

Aku panik. Menarik Hening berteduh di saung dekat taman.

Senja tidak hadir kali ini. Kelabu dan monokrom. Hanya aku dan Hening yang tetap memancarkan warna. Hangat, tertawa, menutupi rasa sakit kami, sendiri-sendiri.

Doaku sore ini, waktu dapat membeku mengabadikan kebersamaan kami.

"Baiklah, sudah hampir adzan Maghrib. Hujan sudah reda. Aku pulang dulu ya."

Aku patah hati seketika. Merengut. Hening malah tertawa.

"Jangan memasang wajah begitu. Kau selalu berhasil membuatku senang. Besok kita bertemu lagi."

Hening memasukkan sebungkus cokelat dariku ke dalam tas. Sementara mawar kuning dan putih, aman tergenggam oleh tangannya.

Hening melambai, "Assalamu'alaikum."

Aku tersenyum semanis yang kumampu. Terpaku sejenak di bangku taman, hingga Hening lenyap di persimpangan.

Lampu-lampu jalan sudah menyala, gerimis turun membawa aura magis yang mendamaikan. Dinginnya, menambah syahdu soreku yang haru-biru. Gemuruh dalam hati kusingkirkan, mengemasi barang-barang, memacu motorku menuju pulang.

Aku harus lekas tiba di rumah, sebelum Hening. Menghapus riasan badut, mandi, lalu bersantai di depan televisi sambil makan kuaci.

Menunggu, hingga dia datang mengucap salam. Gadis manis berkerudung putih, berseragam putih abu-abu, dan bermata sayu.

Cintaku.

***

N. Setia Pertiwi

Cimahi, 06 Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun