Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Capcaisin

1 Oktober 2018   07:33 Diperbarui: 3 Oktober 2018   15:50 3207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Pixabay

Untuk kesekian kalinya, Cakra menyingkirkan sambal terasi dari sebungkus nasi kuning yang baru saja ia beli. Sambal yang digandrungi hampir seluruh rekan kantornya itu, tidak pernah membuat Cakra berselera. Bukan, bukan karena tidak enak. Hanya saja ...

"Kau ada masalah lambung?" tanya Tizar, menadah sambal dari Cakra.

"Bukan soal kesehatan, Zar. Dia ini cuma mau makan sambal buatan pacarnya saja," seloroh Andre, langsung menghujam di benak Cakra.

Alasannya hampir tepat seperti kelakar Andre. Di lidah Cakra, tidak ada sambal yang enak selain buatan Aura. Dia sendiri tidak tahu pasti, apa yang berbeda. Dia juga tidak paham, apa yang membuat sambal Aura begitu mencandukan.

Aura dan sambalnya, bertindak seperti ganja. Pada setiap seruakan capcaisin, Cakra digelayuti buncah yang membuatnya berdebar. Kencang. Perasaan aneh yang menuntun jiwanya pulang, sekaligus menyesatkan.

Namun, Andre salah paham. Cakra dan Aura tidak pernah menjadi sepasang kekasih. Cakra hanya tahu bahwa Aura mencintainya. Lebih tepatnya, mereka saling berbagi cinta, dengan cara yang tidak sama.

Sepasang kasih yang pincang, tertatih-tatih menjalani kisah yang janggal.

"Kita tidak bisa bersama. Pergi saja yang jauh, aku akan tetap tinggal di kota ini," tegas Aura pada suatu senja di atap gedung tua. Matanya mengangkasa, tidak cukup tangguh untuk beradu pandang dengan Cakra.

"Aku ingin kita menikah. Membangun keluarga, di Makassar. Kita akan menyaksikan senja terindah di tepian Losari. Apa kamu tidak penasaran?" Cakra berupaya membujuk Aura.

Kegembiraan atas kelulusannya menjadi ASN di Sulawesi Selatan, kandas diterpa patah hati berkepanjangan. Melanjutkan hidup tanpa Aura setara dengan mimpi buruk bagi Cakra. Kengerian yang harus dihadapinya selama puluhan tahun mendatang.

"Anggap saja kita tidak pernah bertemu, dan aku tidak pernah membuat pengakuan apapun padamu," suara Aura bergetar. Keperihan Cakra tidak ada apa-apanya dibanding sayatan di hati Aura.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun