Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ketika Kabut Itu Pergi (1) #5

15 September 2018   08:08 Diperbarui: 18 September 2018   01:01 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini merupakan fragmen kelima dalam omnibus Tenggelam di Langit. Khusus fragmen kelima ini, bisa kamu nikmati tanpa terlebih dulu membaca cerita sebelumnya.

Kendati begitu, empat fragmen lainnya tetap penting untuk memahami semesta mereka secara lebih utuh.

Fragmen 1. Eksoskeleton

Fragmen 2. Elegi Jasad Renik

Fragmen 3. Metazoa (1)

Fragmen 3. Metazoa (2)

Fragmen 4. 344 Meter per Sekon

***

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi

(Semesta dalam perspektif orang keempat)

Mobil-mobil bercengkrama menggunakan bunyi klakson dan karbon monoksida. Di dalamnya, orang-orang menatap nanar lampu lalu-lintas yang belum berganti warna. Mereka bergegas, tapi menghindar untuk tiba lebih awal. Pikiran mereka terpenjara pada akhir pekan dan perihal lain yang belum waktunya.

Sementara di jok belakang, anak-anak berseragam kesulitan mengeja kebahagiaan. Nasib mereka ditentukan oleh kenaikan kelas dan hasil ujian nasional. Mereka membaca banyak hal, tapi tidak mempelajari apa-apa. Sinapsis otak mereka kebanjiran berita dari televisi dan linimasa. Tinggal menunggu waktu, hingga akhirnya terperangkap dalam tubuh manusia dewasa yang merindukan masa kecilnya.

Kelak, akan banyak yang berhenti sebelum sampai. Lari di tempat dan memuja kata andai. Membeli barang-barang mahal tapi tidak begitu berharga. Menjadi orangtua yang mencintai pekerjaan seperti anak-anak mereka mencintai permainan di layar telepon pintar.

Duduk bersama, dan tidak banyak bicara. Meja makan mereka kesepian, ditemani piring-piring dan gelas-gelas bersih. Akhir pekan datang, waktu bagi pusat perbelanjaan. Mengosongkan sofa ruang keluarga dan memadati jalan-jalan.

Jenis lain, sedikit berbeda. Ada para pengembara. Kantor mereka pantai, gunung, pohon-pohon tinggi, dan apa saja yang tampak bagus dalam Instagram.

Berlomba-lomba menceritakan tempat-tempat indah yang jarang terjamah. Menjauhi keramaian orang untuk menjadi pusat perhatian. Mengagumi alam, tapi sibuk mengurusi baterai dan mencari-cari aliran listrik. Tidak bisa hidup tanpa koneksi internet dan merutuki kartu memori yang sudah penuh. Mereka terus berjalan, tapi melupakan tujuan.

Masih ada lagi, dia yang memang berbeda.

Satu di antara tujuh dalam mobil biru yang melaju menuju selatan Kota Karagan. Sesuai permintaan yang bersangkutan, semua orang memanggilnya Jay. Berkulit coklat kemerahan, seperti madu hutan. Rambutnya menyerupai ombak di tengah lautan. Mata setajam elang itu selalu menatap penuh kepastian, tapi menyimpan bayang-bayang.

Dua kali aku dipertemukan dengannya. Dalam pendakian Gunung Tanduran, dan sekarang, Gunung Parung. Kedua pendakian diadakan oleh tim penyelenggara yang sama. Sebuah perjalanan terbuka, wadah bagi orang-orang ramah mencari teman. Sebagian besar, setidaknya. Aku dan dia termasuk dalam sisanya. Kami tidak ramah, juga tidak menunjukkan gelagat ingin menjalin pertemanan.

Dalam dua kali perjalanan, aku tidak pernah melihatnya antusias dalam suatu percakapan. Dia cenderung menghindar. Saat ada waktu senggang, para peserta sibuk berkenalan, berfoto dengan teman baru, bernyanyi bersama, atau apa saja yang dilakukan orang normal. 

Setiap orang berupaya agar dianggap ada. Dia tidak. Dia justru memisahkan diri dan mengitari tempat lain. Sendirian.

Sedangkan aku, meski berada di tengah keramaian, tapi memuja kesunyian. Tidak banyak bicara dan aktif menjadi pendengar. Aku merasa tidak perlu berusaha menjadi teman yang menyenangkan. Karena memang tidak begitu. Anggap aku tidak ada, maka aku baik-baik saja.

"Kamu diam terus dari tadi. Pertama kali ikut open trip ya? Atau baru pertama kali naik gunung?" tanya seorang gadis berambut kuncir kuda. Aku mengenali wajahnya sebagai host acara petualangan di televisi. Dia pusat perhatian pada kumpulan manusia ini. Percaya diri, atraktif, dan suka bicara. Dia cahaya dan aku bayangan.

"Ya, baru delapan kali. Ini gunung kelima," Aku menjawab singkat, tersenyum seadanya.

Ia tampak terkejut. "Serius? Kok pendiam sekali. Kamu pasti tipe yang lebih mencintai alam daripada manusia ya," Dia tertawa, orang lain juga. Semua orang mendengar pembicaraan kami. 

Aku tersenyum. Hambar. Berharap tidak ditanya lebih lanjut. Aku harus menghindari gadis itu agar tidak terkena lampu sorot terlalu lama. Aku lebih suka menjadi bayangan.

Bagiku, alam tidak pernah menjadi tujuan. Tapi, aku tidak merasa perlu menjelaskan padanya. Orang-orang inilah yang menjadi alasan keberadaanku di sini. Spesies mereka adalah ambisiku. Manusia-manusia yang datang menjejak gunung dengan membawa gaya hidup perkotaan.

Tangan mereka gawai dan mata mereka lensa kamera. Aku menjalani hidup dengan mengamati dan menulis kisah-kisahnya.

Katakanlah, aku manusia di luar peradaban. Aku bukan penghuni hiruk pikuk dunia nyata, maupun dunia maya. Aku fana bagi banyak orang. Namaku bukan kata kunci yang mudah dicari dengan mesin pencarian milik Larry Page. Buku-buku karyaku lebih dikenal daripada sebaris nama asliku. Di internet, tempat orang-orang medioker terlihat cantik, aku hanya sebuah siluet.

Kalaupun ada yang kini mengusik wilayah kebisuanku adalah pemuda yang baru saja muncul kembali entah dari mana dan setelah melakukan apa. Kehadirannya bukan kabar baik bagi detak jantungku. Jay. Dia datang dan duduk di samping ketua rombongan. Mereka tampak membicarakan sesuatu yang serius.

"Kenapa sih dia dibiarkan pergi sendirian? Kalau sampai hilang bagaimana?" tanyaku pada salah satu panitia.

"Siapa? Jay? Biar saja, dia tidak mungkin hilang."

"Kenapa tidak mungkin?"

"Dia mengenal gunung ini seperti kita mengenal rumah sendiri," jawabnya ringan.

Aku terdiam, dirasuki banyak pertanyaan.

***

Sore tadi, awan lembayung luruh. Kabut berselaput sepanjang malam. Gerimis masih saja turun malu-malu.

Langit hitam. Bintang-bintang bersembunyi, membuat patah hati para pendaki. Orang-orang kota ini tidak berhenti menyalahkan hujan yang biasa mereka jadikan persona dalam status media sosial.

Aku tidak peduli. Aku tidak butuh bintang-bintang. Aku puas menatap cahaya api unggun pada iris mata Jay yang coklat tua. Aku bisa menghangatkan diri di sana. Di kedalaman mata itu, aku ingin menjadi penyelam atau ... tenggelam. Karam dalam bayang-bayang.

"Eh, eh, itu siapa?" tanya gadis kuncir kuda menunjuk ke arahku. Wajahnya menyirat ketakutan, nadanya panik. Menyadari bukan aku yang ditunjuk, aku menoleh ke belakang. Hanya tampak kegelapan dan hawa yang lebih mencekam. 

Aku merinding.

Orang-orang ricuh. Ada yang sibuk menakut-nakuti, ketakutan, dan ada juga yang pura-pura ketakutan. Sudah kubilang, gadis itu memang pusat perhatian.

"Tadi ada orang di balik pohon besar itu, melihat ke arah kita!" lanjutnya, nyaris terpekik.

Aku melihat Jay dan ketua rombongan berpandangan penuh arti. Tepat ketika mereka berdiri, terdengar suara gemeresak seperti daun-daun kering yang terinjak. Bayang hitam berkelebat cepat. Buru-buru mengejar, mereka menyerah karena tidak membawa penerangan. Hutan malam hari bisa menelan siapa saja yang berani menantang.

Alih-alih ikut ribut membicarakan makhluk hitam itu, aku justru tertambat pada reaksi Jay. Sekilas, aku melihat kilat menyambar di tatapannya. Merobek selimut bayang-bayang di sana. 

Dia mengacak rambutnya dengan geram. Murka, bingung, duka? Dia mendadak seperti buku rahasia yang sulit aku baca.

Ketua rombongan sigap meredam kegaduhan. Mungkin hanya anjing liar, katanya. Mungkin juga beruang, kataku. Mungkin anjing liar setinggi 6 kaki, kata yang lain. Gadis kuncir kuda yang menjadi saksi mata pertama hanya tertawa-tawa. Tak ada raut trauma.

Sementara itu, Jay tidak kembali dalam lingkar api unggun. Dia beranjak pergi dan aku seketika patah hati. Dia mematung menghadap kabut.

Siluet punggung dan rambut ikal itu terlihat sedih ... dan begitu jauh.

Dimana pikiran dan tatapan itu berlabuh?

***

Sarapan pagi kali ini tersaji bersama keluhan berkepanjangan. Tidak ada seorang pun yang membicarakan sosok misterius tadi malam. Langit menjadi kambing hitam karena terus menjatuhkan kesenduan. Katanya, foto-foto mereka jadi membosankan.
Aku tidak setuju. Aku mengingat kelabu sebagai surga bagi teh manis dan roti lapis. 

Selimut terbaik adalah dingin milik pagi tanpa matahari. Ia bisa merendam kata-kata hingga memuai menjadi cerita. Melupakan tenggat waktu dan merasa cukup.

Keberadaan Jay merupakan hal lebih. Dia mimpi yang menanti di persimpangan. Ada untuk dilewatkan, bukan sebagai tujuan. Sekadar hujan yang terjebak di bait sajak. Pelangi di bawah ngarai. Menawan, tapi tidak untuk di simpan.

Aku, gelisah karena mudah menyerah. Tinggal dua pos lagi hingga puncak Gunung Parung. Besok kami pulang dalam dekap metropolitan. Tapi, buah tangan yang aku punya hanya lelah dan rasa penasaran.

Kami berkemas, bersiap menuju pos selanjutnya. Jay tidak ada. Sudah dua jam berlalu sejak ia menghilang di balik semak. Dia bahkan sudah membawa keril birunya. Aku ragu dia berniat kembali. Kami berangkat lima menit lagi.

"Tunggu dulu. Jay hilang," kataku pelan. Berharap seseorang akan mendengar. Aku tahu, "hilang" kata yang buruk untuk menjelaskan situasi. Faktanya, Jay tidak ada bersama kami.

"Jay hilang?" Gadis kuncir kuda mengulang kata-kataku dengan nada bertanya. Aku lega. Jika dia yang bicara, semua orang pasti sadar. "Jay siapa? Ada ya yang namanya Jay?" lanjutnya. Aku mendengus.

"Tenang, Jay berangkat duluan. Nanti ketemu di pos empat," ujar ketua rombongan. Memasang senyum terlatih yang menyamankan setiap orang. 

Aku tidak, ada cemas yang belum tuntas. 

Bukan hanya karena Jay, melainkan juga karena pria bertopi yang mengamati kami sejak tadi. Ia berdiri ragu-ragu, menyaru di balik batang pohon gaharu. Aku yakin ia orang yang sama dengan semalam. Kendati curiga, aku memilih diam.

Mungkin hanya warga setempat, pendaki, atau ... psikopat?
Aku menghapus segala kemungkinan. Siapapun dia, kurasa ada hubungannya dengan sikap Jay yang tidak biasa. Punggung yang sedih dan kilat di mata coklat tua. Aku bisa gila jika kembali ke Jakarta membawa itu semua. Meski aku juga sadar, kota besar begitu lihai membuatku lupa.

Kami meneruskan perjalanan. Sosok itu tidak lagi ada di sana.

.... bersambung ke sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun