Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | 344 Meter per Detik #4

14 September 2018   08:53 Diperbarui: 18 September 2018   00:44 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendapatan daerah meningkat, tentu saja berimbas pada kesejahteraan rakyat. Banjir yang menjadi peluru untuk menumbangkan pemerintahan akan teratasi, tidak ada bahan makanan bagi serikat pencari kesalahan. Ditambah instalasi untuk ketersediaan air bersih, apa lagi yang kurang?

Lagipula, kami membangun rumah susun khusus nelayan di pulau buatan. Lebih bermartabat dibanding gubuk dengan sanitasi buruk yang dulu mereka huni. Tempat tinggal dengan seng berkarat dan dinding kayu lapuk di sepanjang teluk jelas tidak pantas disebut rumah. Demi harkat dan kehormatan sebagai manusia, anak-anak mereka harus mendapat tempat hidup yang lebih layak.

"Maaf, Pak Wira. Apakah Bapak akan menemui mereka?" tanya seorang pria di ambang pintu yang kubiarkan terbuka. Ia mencoba tenang, namun kalah oleh kepanikan yang sulit disembunyikan.

Aku memunggunginya, tetap geming. Menatap gamang keluar jendela, mengamati sungai manusia dan kemacetan lalu lintas yang menjadikannya penyebab. Dua orator berkoar, menggadang eksistensi sebagai pusat perhatian. Di barisan tengah hingga belakang, puluhan orang khusyuk menikmati nasi bungkus pemberian sponsor, yang cukup rendah hati untuk tidak menunjukkan diri.

"Apa tuntutan mereka?" tanyaku, tanpa mengharap jawaban.

"Seperti sebelumnya. Ganti rugi penurunan hasil tangkapan ikan, ganti rugi penggunaan lahan, pencabutan izin reklamasi, dan modal usaha untuk nelayan yang dipindah ke rumah susun."

Aku tersenyum, mengrenyit. Mudah ditebak. Aku sudah hafal racauan mereka yang menyalahi logika. Maling teriak maling. Mereka seperti anak kecil yang menangis atas hilangnya permen yang tidak pernah mereka miliki.

Pikirkan saja, lahan sepanjang pesisir utara jelas milik pemerintah daerah. Mereka gunakan secara ilegal, kami diamkan puluhan tahun tanpa urusan hukum. Atas nama kepentingan publik, kami rebut kembali dan mereka malah minta ganti rugi?

Lantas perkara penurunan hasil tangkapan ikan, tentu saja cuma akal-akalan. Dari dulu, kualitas maupun kuantitas hasil laut tidak bisa diandalkan. Pemukiman kumuh nelayan penghasil limbah dan sampah membuat ikan-ikan mati dan kabur ketakutan. Atas kerusakan kronis yang mereka timbulkan, mereka menuding kami sebagai antagonis?

Apalagi? Modal usaha dan pencabutan izin reklamasi? Sudahlah, lupakan saja. 

Mereka tidak akan paham jika kami jelaskan. Dalam labirin otak mereka hanya ada uang. Sementara, ini bukan soal hidup segelintir orang, melainkan untuk setiap jiwa di Kota Karagan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun