Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | 344 Meter per Detik #4

14 September 2018   08:53 Diperbarui: 18 September 2018   00:44 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Baju kotor begini ya tidak bisa ke masjid, Pak."

Aku hanya tersenyum. Tidak pernah bosan menerima penolakan ketika mengajak mereka ke masjid dan berhenti sejenak dari pekerjaan proyek. Khawatir, mungkin bukan istilah yang tepat. Takut, lebih mendekati.

Masalahnya, ini bukan perkara sederhana, menguruk lautan menjadi daratan dan mengusik ekosistem di dalamnya. Rekayasa luar biasa, melawan hukum alam. Ada harga tinggi yang harus dibayar untuk kemaslahatan yang lebih besar. Demi semua itu, aku tidak sanggup berdiri tegak lebih lama. Aku takut memancing murka semesta.

Hingga suatu momen, sekitar lima detik setiap kali peninjauan lokasi proyek, tubuhku terasa ringan. Pijakan kaki di urukan tanah itu penuh ketidakpastian. Merasa asing dengan diri sendiri, namun tidak bisa lari. Menyenangkan, sekaligus menyeramkan. Aku pikir, aku sudah hampir gila menanggung beban kota ini.

"Pak Wira tidak perlu khawatir. Semua aman terkendali. Para engineer kami pasti sudah memperhitungkan segalanya," Mereka mengumbar kata demi membuatku tenang, tapi menghasilkan kondisi berlawanan. Diksi "terkendali", "pasti", dan "segalanya", membuatku merinding. Terdengar pongah dan jumawa. Rasanya, tidak pantas diucapkan manusia.

Barangkali, akan jauh lebih baik jika perasaan ini hanya paranoid tanpa alasan. Tapi, sayang sekali tidak.

Kelak, balasan atas kesombongan akan datang sebelum kami sempat menyesal.

***

Raungan demonstran tak henti bergaung sejak pagi. Tidak bisa dibedakan antara nelayan sungguhan dan massa bayaran. Kepalaku berdenyut sebelum mereka menampakkan diri. Aku tidak sepenuhnya paham hal-hal yang mereka keluhkan. Percuma saja berdialog dengan egoisme. Aku memilih geming, dan mereka semakin bising.

Tipikal, perut yang lapar membuat orang-orang mudah terbakar. Gesekan sedikit bisa berakibat fatal. Nasibku saja harus memimpin sebuah kota yang penuh warga keras kepala. Mereka menuntut perbaikan, tapi garda depan dalam menentang perubahan.

Sudah ratusan kali, lembaran dokumen AMDAL yang belum juga rampung itu kubaca ulang. Tidak ada yang bermasalah. Ratusan nelayan masih dapat melaut, mereka tidak perlu ribut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun