Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Gigi Bungsu dan Kopi Tanpa Gula

11 September 2018   11:52 Diperbarui: 11 September 2018   16:07 2288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Oh, itu. Maaf ya kalau mengganggu. Aku hanya kesakitan karena gigi bungsu," katanya sambil tertawa. Aku mengangguk paham, tersenyum mahfum.

Dua hari berlalu, kembang wajah Tiara baru saja mekar. Aku lupakan segala suara yang sempat  terdengar. Aku sadar tidak punya hak mencampuri urusan orang. Lagipula, perjalanan dinas selama dua minggu ke depan sudah cukup menyita pikiran.

***

Cangkir kopi keempat menghampiri meja. Jauh dari Jakarta selalu membuatku cemas. Kemacetan mengular, cuaca membakar, dan ayam penyet langganan sudah menjadi candu. Dan setiap jenis candu, mengandung kadar rindu di atas normal, begitu pula sebaliknya.

"Metha, apa kabar?" Sebuah sapaan mengalihkanku dari setumpuk laporan. Putrajaya, wilayah sibuk di Kuala Lumpur ini bukan tempat favorit untuk bertemu teman lama. Tapi, ini ceruk bagi kami, manusia-manusia usia produktif yang berduyun-duyun menjadi utusan perusahaan.

"Indra? Kerja di sini atau lagi dinas?" tanyaku antusias. 

Bukan hanya sekali perjalanan dinasku mendapat bonus berupa reuni. Di tengah musim gugur Seoul yang super romantis itu, aku bahkan bertemu mantan pacar dari zaman jahiliyah dulu. 

Seseorang dari masa ketika aku mengenal cinta sebagai antar jemput rumah-sekolah dan segala traktiran ketika jalan-jalan. Mudah di tebak kelanjutannya, aku menjeratkan diri dalam jaring laba-laba yang sama. Setelah kembali sadar, tentu aku memutuskan hubungan kami untuk kedua kali. Lantas, kembali ke celah taring serigala ibukota. Tidak jauh berbeda memang. Sama saja.

"Loe udah nikah?" tanya Indra tanpa etika kesopanan. Setelah dua tahun tidak berjumpa dan secara indah bertemu di negeri orang, pernikahan bukan topik yang baik untuk mengembangkan arah bicara. Dalam kasusku, justru akan menjadi perusak suasana.

Tapi, kali ini berbeda. Aku malah tertawa, melempar wajahnya dengan kacang Arab yang ada di atas meja. Ia tertawa lebih keras. Kami sudah terbiasa melakukan ini. Dia tahu aku selalu terpikat pada buaya darat. Bocah-bocah yang tidak pernah membawa serius suatu hubungan. Indra hafal itu karena semasa kuliah, ia adalah wadah bagiku membuang keluh kesah. Tempat sampah. Begitu pula aku baginya.

"Oke, gue ganti pertanyaannya. Loe kerja dimana?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun