Mohon tunggu...
Novita Sikome
Novita Sikome Mohon Tunggu... Wiraswasta - Love my family

Live as I want to..\r\nMencintai gunung,\r\nMengoleksi bunga anggrek,\r\nMenggilai Superman DC Comics,\r\nMerasa sebagai warga negara dunia,\r\nMenulis untuk kepuasan hati...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Diary of Janda-janda Kampung (10)

25 April 2013   20:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:36 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende



MY SELF
Kali ini, saya hendak bercerita tentang saya lagi. Mungkin pada penasaran ya, bagaimana kelanjutan dari ajakan si Stan untuk menghabiskan malam Tahun Baru bersama dengannya di Old & New Party yang diadakan oleh kantor dia.


Sore itu, 4 hari sebelum akhir tahun. Saya baru saja sampai dirumah dari kantor, dan sedang melaksanakan aktivitas rutin sore hari saya, yaitu mengurusi bunga-bunga Anggrek kesayangan di depan rumah, ditanah pekarangan saya yang tidak terlalu besar. Saat sedang asyik menyiram sekaligus mengagumi Anggrek Bulan berwarna putih yang sedang mekar berbunga, tiba-tiba terdengar suara dari pintu rumah, ternyata keponakan saya, si Dinda.


“Tan, ada telpon!” ujarnya sembari mengangsurkan Handphone saya yang masih sedang melantunkan ringtone panggilan telpon di tangannya.


“Dari siapa, Din?” tanya saya. Dinda hanya mengangkat bahunya, lalu menjawab cuek, namun membuat saya langsung malu bukan kepalang.


“Tauk...nama di HaPe nya Tan sih, namanya Si Kiyut!”
ALAMAK....memalukan sekali. Pasti dalam hatinya Dinda ngakak habis-habisan. Si Kiyut...ada-ada saja!. Segera saya mengambil handphone dari tangan Dinda lalu menekan tombol OK.


“Halo?” jawab saya pelan. Berusaha untuk terlihat acuh tak acuh di depan Dinda.
“Hai Tycia....Ini Stan..” terdengar suara teduh yang menenangkan di ujung sana. Tentu saja saya tahu itu kamu, geblek!. Makanya saya sedang malu setengah mati depan si Dinda gara-gara menyimpan nomor kamu dengan nama ‘Si Kiyut’, rutuk saya dalam hati setengah kesal.
“Iya..saya tahu itu kamu, kan kemaren kamu memberikan nomor telpon ke saya”
“Ohh...kupikir kamu tidak menyimpan nomor hape saya, Ty..”
“Oh ya, aku menelpon kamu untuk menanyakan, tentang rencana malam Tahun Baru kita, jadi kan?” tanya Stan penuh percaya diri. Sialan banget ni cowok, waktu kemaren itu saya kan tidak pernah mengiyakan untuk pergi bersama dengan dia. Enak aja dia ngomong ‘Rencana Malam Tahun Baru Kita’!.


Sejenak mulut saya seperti terkunci, dan jujur saya tidak tahu harus bicara apa. Sebenarnya, saya sudah sedikit lupa dengan ajakan Stan sewaktu di Mall itu, bukannya apa-apa, saya hanya tidak pernah berpikir bahwa dia akan serius mengajak saya merayakan pesta Tahun Baru bersama dengannya.
“Hello Houston!!..Anybody there?” terdengar lagi suara sejuknya berucap penuh canda diseberang sana, dan mendadak seperti ada seribu kupu-kupu yang menari-nari didalam perut, rasanya sungguh tidak nyaman, namun menyenangkan.
“Aduh!..Maaf ya Stan, saya sudah lupa!” tukas saya gugup, untung saja dia sedang tidak berada dihadapan saya.


“Oh gitu ya, terus menurut kamu gimana? Mau nggak ikut?!” nada suaranya itu lho, hangat namun terdengar cuek, menggemaskan!.
“Kebetulan kemarin acara kumpul keluarga aku dibatalin karena ada salah seorang Om yang sakit berat, jadi kayaknya aku bisa ikut kamu”
“Keren!.. Kalau begitu kamu mau aku jemput jam berapa? Acara puncaknya sih jam 12 malam, tapi makan malamnya sudah dimulai pukul 9, jadi, gimana kalau aku jemput kamu pukul 8?”
“Okey deh!” Saya langsung mengiyakan.


Saat ini, saya memang tidak sedang dalam keadaan untuk menolak ajakannya itu. Entah mengapa, saya seperti terbius dengan suaranya lewat telepon tadi. Untung saja percakapan kami cuma lewat telepon, karena jika berhadapan, sudah pasti Stan akan keheranan melihat keringat deras yang mengucur di sekujur tubuh saya.


“Tan! Tante sakit ya? Kok keringetan gitu?” suara Dinda membuyarkan kabut-kabut yang sejak suara Stan terdengar, entah mengapa seperti menggantung di otak saya.
“Enggak kok, tante Cuma kepanasan saja”
“Kepanasan gara-gara “si kiyut” ya?” goda Dinda. Sialan! Anak kecil berani menggoda tante-nya.
“Jangan merah gitu dong mukanya, Tan! Kayak anak SMP lagi digodain gara-gara ketangkap basah pacaran sama teman sekelasnya, lho!” gadis mungil itu lalu langsung berlari keluar sambil tertawa terkekeh-kekeh, karena ditanganku sudah ada bantal kursi yang siap untuk dilemparkan!


Muka saya merah? Memang muka saya merah, dan itu sungguh sangat tidak bisa di toleransi. Saya bukan anak kecil lagi. Saya sudah pernah berumah tangga meskipun gagal. Seorang Stan, pemuda ingusan bisa membuat wajah saya bersemu merah? Keterlaluan!!.
Akhirnya, hari itu sudah sangat dekat. Tinggal satu hari lagi. Saya makin resah, pertama, karena saya tak yakin  apakah ini adalah keputusan yang tepat. Kedua, saya belum menemukan baju yang tepat untuk acara tersebut. Sudah 5 kali saya dan Dinda membongkar-bongkar lemari baju, memadu madan-kan semua baju-baju yang bisa saya temukan disitu, dan semuanya terlihat TIDAK SEMPURNA.


Bahkan, saking kesalnya, Dinda memutuskan untuk berhenti membantu saya, saat untuk ke 20 kalinya saya minta dia untuk menilai setelan Skinny Jeans dan semi blazer yang tepat untuk saya.
“Cukup ah! Dinda nggak mau lagi! Ngapain minta pendapat Dinda, kalau toh akhirnya semua tidak tante suka?!” ketus gadis itu judes.
“Din...tolongin tante dong..” pinta saya sudah setengah memelas.
“Telpon aja tante Vanny, pasti dia tahu apa yang harus di lakukan! Dinda menyerah”
AHA!! Benar juga. Kenapa sejak tadi hal tersebut tidak terpikirkan oleh saya, ya?. Vanny, trouble and solution maker dalam keluarga kami.


“Hello Cuz, tumben dalam sebulan kamu nelpon  aku sudah berkali-kali, biasanya aku yang suka nelpon kamu, biar malas diangkat!” goda Vanny.
“Iya..iya....sorry....bantu aku dong!” pinta saya tanpa basa-basi.
“Hohoho..... aku nggak salah dengar, nih? Usually, eike kan yang selalu minta bantuan kamu, dalam segi spiritual maupun material? Kok jadi kebalik sih?”
“Bantuin aku beli baju buat acara tahun baru besok dong!” saya putuskan untuk langsung bicara tentang masalah yang sebenarnya, sebelum si usil mulai mengorek-ngorek cerita dibalik itu.


“Eng..ing..eeeeennnggg!! sejak kapan kamu peduli dengan penampilan? Setahu eike, kamu tuh ya Cuz, ke gereja aja pake celana jeans belel kamu merasa ok, dan sekarang pake nelpon eike, pakar fashion se kota Manado untuk membantu? Hmmmm...pasti ada udang dibalik mall...”
“Kok udang di balik mall sih??” tanya saya heran
“Batu-batu-nya udah habis buat nimbunin laut buat dibikin mall, lupa ya? Tentu saja kamu lupa Cuz, kamu kan type pasar tradisional, bukan supermarket atau mall kayak eike!”
“Terserah deh kamu mau hina aku sesuka hati, aku terima!” Dari pada tidak ditemenin milih baju? Rutuk saya dalam hati.
“Tuh kan, pasti deh ada apa-apanya!” rupanya si Fashionista Freak masih curiga juga.
“Jangan-jangan, ini berhubungan dengan si Stan, ya?” tebaknya, dan dia benar.
“Ah, enggak kok! Siapa bilang ini berhubungan dengan Stan?” dusta saya.


“YANG INI BERHUBUNGAN DENGAN ORANG BERNAMA SI KIYUT TANTE VANNY!!” Tiba-tiba saja, Dinda sudah berada di belakang saya, dan langsung berteriak kearah mikrofon HP.
“Hahahaha!! Eike bener kan? Kamu nggak bisa sembunyiin hal-hal semacam itu pada eike, darling. Mungkin kalau dari segi intelektualitas dan IQ, kamu lebih jago dari eike, minta maaf, untuk yang beginian eike pakarnya!!” Matilah saya!!.
“Ngaku aja, kalau enggak eike nggak bakal temenin kamu belanja baju!” ancam Vanny.
“Iya..iya..besok aku ada acara sama Stan, PUAS?”
“PUAS banget Cuz! 30 menit lagi, eike jemput ke rumah kamu, kita shopping!! Byeeee..” tanpa basa-basi, si sepupu gila fashion langsung menutup sambungan telponnya. Meninggalkan saya yang tengah terpaku dengan pipi memerah, dan juga Dinda yang sedang tertawa diseberang ruangan, atau lebih tepatnya; tengah menertawakan saya. Memalukan!.
******
Belanja baju dengan Vanny, ternyata asyik juga. Saya jadi kagum sama pengetahuan fashion sepupu yang satu itu. Luar biasa. Saya saja, sekali-kali datang ke mall, begitu pandangan terantuk pada sepotong baju atau celana jeans kesukaan saya, tanpa ba-bi-bu, langsung deh langkah saya otomatis menuju ke kasir. Saya memang adalah type orang yang tidak terlalu suka menghabiskan waktu di mall. Sedangkan sepupu saya itu, berbeda 160 derajat dengan saya yang super duper cuek. Berkeliling mall seharian, katanya itu bisa membakar kalori yang setara dengan jalan selama 1 jam di treadmill.


“Lumayan kan, olahraga sambil cuci mata?” ujar Vanny ketika selesai menjelaskan segala macam teori fitness dan pembentukan tubuh ala selebriti Hollywood lewat jalan-jalan dan shopping di mall.
“Bakar kalori sih oke-oke saja Van, tapi ujung-ujungnya kantong aku ikutan hangus!” keluh saya. Si centil hanya tertawa cekikikan mendengar keluhan itu.
“Kamu tuh ya, L, selalu saja suka banyak pikiran, terlalu cemas dengan hari esok. Hidup ini harus dinikmati, ngapain kita susah-susah kerja banting tulang, hayo?” sanggahnya.


Dalam hati saya mengakui kebenaran kata-kata Vanny. Mungkin dia benar, selama ini saya terlalu khawatir dengan apa yang harus saya pakai, apa yang harus saya makan, apa yang akan terjadi besok harinya, dan saya jadi tidak terlalu menikmati hidup ini.
“Bagaimana dengan yang satu ini?” Vanny mengangkat sebuah gaun terusan berwarna hitam, dengan belahan di punggung hingga sedikit diatas pantat. Sontak saya langsung menggelengkan kepala kuat-kuat.


“Bisa-bisa saya dikira gampang diajak ke tempat tidur sama dia, Van!”
“Emang kamu nggak mau?” goda Vanny, membuat saya tak urung tersipu malu. Untung saja itu luput dari penglihatan sepupu centilku, kalau tidak, sudah pasti aku akan dihujat habis-habisan oleh dia.
“Kalau ini?” kembali dia mengangkat sebuah gaun berbahan tafeta, berwarna lila muda, yang entah kenapa, saya langsung menyukainya.
“Ayo kita coba!”.
“Gimana, pas nggak bajunya?” tanya Vanny bernada penasaran dari luar kamar ganti.
“Lumayan” jawab saya pendek. Sambil mematut diri di cermin, saya berputar didepan kaca. Baju itu sungguh cantik, pas di badan, dan membuat saya terlihat anggun. Sesuatu yang jarang bisa dilihat dalam diri saya, dikehidupan sehari-hari.


“Cuz, ayo dong keluar, saya pengen lihat juga!” rengek Vanny dari luar. Saya langsung membuka pintu, yang langsung ditarik penuh semangat oleh si centil.
“Wawwww!!.. Tycia, kamu cantik banget!” spontan Vanny langsung memuji.
“Ihh..kamu bisa saja” tak urung saya merasa jengah dipuji seperti itu.
“Bener lho, L. Aku nggak pernah melihat kamu dalam balutan baju seperti ini, dan jujur, bentuk tubuhmu bisa membuat perempuan-perempuan bermulut tajam sekampung pada iri!”


Saya tahu, dia berkata jujur. Dengan tinggi badan 169 cm, dan berat 59 kg, postur tubuh saya memang tergolong ideal, dan enak dipandang. Namun tetap saja, blus katun kota-kota dan celana belel, serta sepatu Converse kesayangan saya yang warnanya sudah tidak jelas lagi, adalah pakaian wajib yang menjadi seragam paten saya, selain baju kantor formal nan rapi.
Reaksi Stan dari semuanya itu adalah yang paling saya takutkan. Entah mengapa, saya ingin sekali membuatnya terkesan dengan penampilan saya malam ini. Hal yang membuat saya merasa sangat takut, karena ini adalah yang pertama kalinya dalam hidup saya, penampilan menjadi sesuatu yang teramat penting, dimana sebelumnya, itu tidak pernah menjadi prioritas dalam hidup saya.


“Tycia, kamu sangat cantik, seperti biasanya” Ucapan Stan yang seperti tidak terpana melihat penampilan saya yang lain daripada biasanya, jujur sedikit  membuat saya sedikit kecewa. Sebenarnya, saya begitu mengharap Stan akan menunjukkan reaksi yang sedikit berbeda begitu melihat saya. Namun, sedetik kemudian, saya langsung menyumpahi diri sendiri, karena berpikir seperti seorang perempuan tolol. Memangnya apa yang saya harapkan dari reaksi Stan? Dia harus melongo sambil bilang “WAW” begitu melihat saya? What a stupid thinking!.


Makanya, saya langsung mencoba untuk bersikap normal, sebagaimana adanya saya dalam keseharian hidup saya.
“Kita berangkat sekarang?” ucap saya berusaha untuk terdengar riang. Stan hanya tersenyum, yang lagi-lagi senyumnya membuat hati saya seakan-akan meleleh, seperti mentega kena panas, Hodoh!!.


Kalau pada mulanya saya khawatir tidak akan pernah bisa menikmati pesta Tahun Baru bersama Stan dan teman-teman sekantornya, ternyata saya salah besar. Stan, entah bagaimana caranya, dia mampu membuat saya, yang sebenarnya tidak terlalu suka dengan pesta dan keramaian, jadi menikmati pesta tersebut. Pesta Tahun Baru yang diadakan oleh kantor Stan dibuat di sebuah restoran yang terletak di puncak  gedung sebuah hotel ternama di Manado, yang memiliki pemandangan menakjubkan kearah teluk laut Manado.
“Bagaimana? Kamu menikmati pesta ini, Tycia?” tanya Stan sambil berbisik. Tiba-tiba saja dia sudah berada dibelakang saya.


“Iya, terima kasih karena sudah mau mengundang saya kesini” ucap saya agak tercekat. Bagaimana tidak, sejak saya mengenalnya, tidak pernah kami berdiri sedekat dan seintim ini!. Kami berdua tidak lagi berada ditengah keramaian pesta, karena saya tadi keluar ke teras restoran yang sepi, untuk mencari angin sedikit, karena didalam pestanya sudah semakin gila-gilaan.
“Tycia, aku yang harus berterima kasih, karena sudah mau ikut aku ke pesta ini, kalau tidak, aku pasti menghabiskan waktu sendirian” ucap Stan merendah. Saya tahu benar bahwa itu bukanlah kenyataannya. Bahkan walau ada saya disampingnya yang Stan perkenalkan sebagai sahabat kepada teman-teman kantornya, tidak sedikit gadis-gadis cantik yang terus-menerus berusaha untuk menarik perhatian Stan. Pandangan-pandangan iri pun dilontarkan pada saya.


“Dan saya merasa sangat bahagia..” Ucapan itu terlontar dengan sangat lirih. Stan lalu menggamit lengan saya, memutar badan saya sehingga kami berdua berhadap-hadapan. Jantung saya langsung melompat-lompat kayak sedang fitness habis-habisan, sampai-sampai saya takut dia bisa mendengar getaran jantung saya itu. Stan menatap mata saya, dengan pandangan yang sungguh bisa meleburkan hati sekuat apapun juga.


Dia lalu membungkuk, dan bibirnya menjadi begitu dekat dengan bibir saya, sehingga saya langsung berpikir, Oh Tuhan, jika ini memang sudah saatnya, tolong buatlah agar ini menjadi momen yang berkesan buat saya, dan bencana itu tiba-tiba datang!. Sungguh, kejadian itu merupakan kejadian yang paling memalukan dalam hidup saya, jauh lebih memalukan dari ketika saya terkencing-kencing di celana pada saat orientasi Kampus ketika masih menjadi mahasiswi baru, saat para senior menaruh seekor cecak diatas kepala saya, binatang yang paling saya takuti dari semua binatang yang ada didunia ini!.(To Be Continue)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun