Mohon tunggu...
Sinta Maharani
Sinta Maharani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lingkaran Waktu

20 Maret 2017   10:50 Diperbarui: 20 Maret 2017   20:00 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lingkaran Waktu

Lembayung senja menerpa seisi jagat yang kutapaki, ku silangkan kedua tanganku karena silau akan sinarnya. Dari kejauhan aku melihat seorang gadis manis yang asik bermain di bawah pohon rimbun di atas bukit kecil. Mataku mengarah ke sebuah rumah yang tak jauh dari bukit itu, kakiku pun terus berjalan meski menerjang rimbunnya ilalang. Aku rasa ada medan magnet yang kuat sehingga menarik perhatianku untuk kesana. Sebuah rumah berarsitektur klasik yang sarat akan seni mulai terlihat ketika aku memasuki halaman depan, dipagari kayu mahoni yang terukir dengan rapi.

Melihat halaman depan yang dipenuhi oleh tanaman obat-obatan mengingatkanku akan cerita dari ayah, bahwa buyut ayah dulunya adalah seorang peracik obat yang handal pula. Tidak hanya itu, ada bunga yang pernah aku lihat di mimpi yang kini aku lihat ada di tempat ini, tanpa pikir panjang ku petik setangkai bunga unik itu berbentuk menyerupai mawar namun tak berduri dengan warna biru muda keunguan di tiap kelopaknya.

Tampak cerobong asap mengepul dari atas rumah, rupanya di dalam nya sedang ada penghuni yang sedang melakukan aktifitas. Aku mengintip lewat jendela bagaikan agen mata-mata di film Sherlock Holmes, benar saja ada sepasang suami istri di dalam rumah itu. Entah apa yang sedang mereka bicarakan namun dari ekspresi serta raut mukanya aku bisa menduga bahwa mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius.

Suara burung beo sempat mengagetkanku, tanpa kusadari sebelumnya ternyata tepat diatasku ada sangkar burung yang terbuat dari besi berwarna coklat tua, tampak mulai berkarat karena terus di terpa cuaca yang berubah-ubah. Burung beo itu seakan ingin bercerita dan sangat akrab denganku layaknya aku ini majikannya yang sebenarnya. Burung beo itu terus menatapku seperti tatapan yang penuh akan seribu cerita yang siap dikisahkan kepadaku.

Kudengar nyanyian anak kecil yang semakin mendekat, benar saja ketika ku toleh kebelakang ada seorang gadis kecil yang memasuki halaman depan. Rupanya gadis itu adalah gadis manis yang tadi kulihat bermain di bukit kecil. Rok selutut yang ia kenakan terlihat sangat cocok dengan postur tubuhnya yang semampai, berwarna merah jambu yang senada dengan pita rambutnya. Dengan wajah yang sumringah gadis itu masuk ke dalam rumah. Kembali ku intip lewat jendela, benar firasatku bahwa sepasang sumi istri itu adalah orang tua dari si gadis.

Eh... Gek Ratih sudah pulang, sini sayang. Main dimana saja tadi Gek?” tanya ibunya

“ Gek main di bukit kecil Ibu, yg dekat pohon beringin itu”

“ Ya sudah mari duduk, minum teh hijau racikan Ibu.”

“ Iya Ibu”

Mereka terlihat seperti keluarga yang sangat harmonis. aku begitu bahagia melihatnya, padahal aku tidak kenal dengan mereka. Entah mengapa meski aku tidak pernah berkenalan langsung aku merasa tidak asing dengan mereka. Senyum yang mengembang dari bibirku bisa kulihat dari kaca jendela, tapi itu tidak bertahan lama setelah ada hal ganjal lain yang kulihat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun