Mohon tunggu...
Nikolaus Powell Reressy
Nikolaus Powell Reressy Mohon Tunggu... -

Eagle Flies Alone

Selanjutnya

Tutup

Politik

Duan Lolat: Sebuah Kearifan Lokal

1 April 2014   00:14 Diperbarui: 26 November 2015   05:00 1935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Laki-laki Tanimbar

(Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbambon/2014/06/04/etnografi-orang-tanimbar)

 

Duan Lolat: Sebuah Kearifan Lokal

Oleh: Nikolaus Powell Reressy

 

Pengantar

Dalam kehidupan masyarakat Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, telah sejak lama terpelihara sebuah nilai kekerabatan yang disebut sebagai duan lolat. Drabbe (1928 dan 1989), Bohm (1995), Koritelu (2009), Pangemanan dan Bohm (2011), de Jonge dan van Dijk (2011), Lerebulan (2011), dan Wuritimur (2012) adalah sekelompok orang yang telah meneliti dan menulis nilai duan lolat. Dalam tulisan-tulisan tersebut diterangkan bahwa secara harfiah, kata duan berarti tuan atau pemilik suatu barang. Tuan atau pemilik ini berfungsi sebagai pelindung terhadap barang itu. Sementara itu kata lolat berarti penerima suatu barang. Pelembagaan nilai duan lolat terjadi pada proses perkawinan adat, dimana duan merupakan predikat yang diberikan kepada kelompok keluarga yang bertindak sebagai pemberi perempuan, sedangkan lolat adalah predikat bagi kelompok keluarga yang bertindak sebagai penerima perempuan.

         Hubungan kekerabatan duan lolat di atas tersimbol dalam berbagai bentuk barang pemberian, baik dari pihak duan maupun dari pihak lolat, yang berlangsung secara makanik dalam setiap peristiwa kehidupan masyarakat Tanimbar. Peristiwa-peristiwa dimaksud berlangsung di sepanjang kehidupan manusia, mulai dari kelahiran, perkawinan, pembangunan rumah, sampai pada kematian. Pihak duan biasanya berkewajiban untuk memberikan pakaian dan perlengkapannya, termasuk juga bahan makanan berupa beras dan umbi-umbian, kepada pihak lolat. Sementara itu, pihak lolat berkewajiban untuk memberikan lauk-pauk seperti daging dan minuman sopi (tuak khas Tanimbar) kepada pihak duan.

         Barang yang diberikan, entah oleh pihak duan maupun lolat, juga bisa dalam bentuk benda-benda adat seperti kain tenun, perhiasan adat, gading gajah, dll, yang disesuaikan dengan peristiwa kehidupan yang sementara dihadapi.[1] Seiring perkembangan waktu, bentuk barang pemberian pun mengalami beragam variasi. Karena semakin langkanya benda-benda adat yang ada di masyarakat bila dibandingkan dengan semakin banyaknya peristiwa adat yang berlangsung, serta dengan berubahnya selera dan gaya hidup masyarakat, saat ini tidak jarang barang pemberian dimaksud dikonversi dalam bentuk barang hasil industri—misalnya kain tenun diganti dengan kemeja, atau sopi diganti dengan bir atau minuman beralkohol lainnya. Tidak hanya itu, dalam banyak kasus, barang pemberian pun telah dikonversi dalam bentuk uang yang pagunya sangat beragam dan dari waktu ke waktu cenderung mengalami peningkatan.

         Dalam studi ilmu sosial, para sosiolog menyebut hubungan kekerabatan seperti ini sebagai hubungan kekerabatan yang dimotori oleh solidaritas mekanik, dimana suatu komunitas akan bergerak secara mekanik untuk memberikan bantuan manakala ada peristiwa tertentu—baik peristiwa suka maupun peristiwa duka—yang menimpa salah satu anggota komunitasnya. Tὅnnies (di dalam Weber, 1949; Tὅnnies, 1963; dan Sztompka, 2011) menyebut masyarakat seperti ini sebagai masyarakat gemeinschaft yang banyak dijumpai pada negara-negara agraris dan pada negara-negara yang sedang berada dalam tahap transisi dari agraris menuju industrialisasi. Masyarakat gemeinschaft akan selalu berusaha secara mandiri untuk memecahkan setiap persoalan hidup yang mereka hadapi. Proses pemecahan masalah akan berlangsung secara kekerabatan atau secara paguyuban dengan berorientasi pada nilai-nilai ikatan keluarga, adat istiadat, dan agama yang hidup di dalam lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, masyarakat gemeinschaft mengusung falsafah hidup gotong royong sebagai arus utama dalam kehidupan sosialnya. Tὅnnies menambahkan bahwa seiring arus modernisasi, masyarakat gemeinschaft akan berubah wajah menjadi masyarakat gesellschaft yang mengandalkan institusi negara dalam memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Proses pemecahan masalah akan berlangsung secara patembayan dengan mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas dan nilai-nilai hukum positif yang berlaku. Masyarakat jenis ini banyak dijumpai pada negara-negara industri maju dan sebagian pada negara-negara transisi.

         Abdullah dan White (2001) dalam penelitian yang mereka lakukan di Desa Kaliloro, Kulonprogo, Yogyakarta, menyebut semangat gotong royong sebagai “resiprositas”, yang pada hakikatnya bertujuan untuk menciptakan keamanan sosial (social security) di masyarakat. Chambers (1987) juga menyebut gotong royong sebagai salah satu nilai pengetahuan setempat (local knowledge) yang dipakai oleh masyarakat Jawa untuk memecahkan setiap persoalan yang mereka hadapi. Chambers lebih lanjut menyebut hal ini sebagai self governing community. Sebelumnya, Geertz (1963) juga telah menyebut gotong royong sebagai sarana untuk menciptakan social security di masyarakat Jawa. Melalui gotong royong, masyarakat Jawa mampu menciptakan tertib sosial (social order) melalui pemenuhan kebutuhan individu secara bersama-sama.

         Nilai gotong royong, sebagaimana disampaikan di atas, sudah jamak dianut oleh masyarakat agraris di Indonesia. Di Tapanuli, gotong royong dikenal dengan istilah marsiurupan, di Minahasa disebut mapalus kobeng, di Maluku Tengah disebut masohi, di Sumbawa disebut pawonda, di Madura disebut long tinolong, di Jawa Barat disebut liliuran, di Sumatera Barat disebut julojulo, sedangkan di Bali dikenal dengan sebutan subak. Masih dalam konteks yang hampir sama, meskipun memiliki varian yang berbeda, semangat gotong royong ini lah yang sebenarnya dianut oleh nilai duan lolat.

 

Pergeseran Nilai

Peristiwa globalisasi yang berlangsung secara masif di negeri ini telah membawa dampak tersendiri bagi perkembangan nilai duan lolat. Sebagaimana telah dikonstruksi oleh para leluhur, sejatinya nilai duan lolat bertujuan untuk membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat Tanimbar. Hal ini karena di dalam nilai duan lolat itu hidup semangat gotong royong, sebagaimana dijelaskan di atas. Semangat gotong royong ini lah yang seharusnya dipakai oleh masyarakat Tanimbar sebagai alat untuk menciptakan social security, mewujudkan social order dan mencapai kesejahteraan bersama. Namun, saat ini nilai duan lolat telah jauh menyimpang dari makna yang sebenarnya. Telah terjadi pergeseran makna duan lolat di masyarakat. Tanggungan adat yang tadinya dilakukan dengan semangat gotong royong demi berbela rasa, telah bergeser menjadi semangat konsumtif.[2]

         Telah terbangun pula mekanisme evaluasi dan kontrol yang ketat di masyarakat, sehingga ketika tanggungan adat yang diberikan tidak dipenuhi atau bahkan tidak memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, maka pihak yang bersangkutan—entah duan maupun lolat—akan mendapatkan sanksi secara adat maupun secara sosial. Secara adat, mekanisme evaluasi dan kontrol ini dibungkus dengan kisah-kisah mistis yang kental, sehingga memiliki makna yang begitu kuat dan mendalam. Misalnya, ketika pihak lolat tidak memenuhi kewajibannya dan menyebabkan kemarahan dari pihak duan, maka akan ada musibah (sakit penyakit, sampai pada kematian) yang menimpa pihak lolat. Menariknya, berbagai kasus yang muncul di masyarakat akibat terganggunya relasi duan lolat semakin menjustifikasi hal ini. Selain itu, secara sosial, pihak yang tidak memenuhi kewajibannya sudah tentu akan dikucilkan dari paguyuban. Mereka akan dianggap sebagai pecundang dan tidak memiliki harga diri di mata adat.

         Sebagai akibat dari mekanisme evaluasi dan kontrol yang begitu ketat di atas, sebagian besar pendapatan keluarga kemudian dialokasikan untuk memenuhi tanggungan adat dimaksud. Akibat lanjutannya, berbagai kebutuhan dasar mereka seperti kesehatan dan pendidikan yang seharusnya mendapatkan prioritas, menjadi terabaikan. Padahal, dalam perspekif Kebijakan Sosial, ketika kearifan lokal yang dianut oleh suatu masyarakat telah menghambat mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti kesehatan dan pendidikan, maka di saat yang bersamaan masyarakat tersebut telah terjebak di dalam “lingkaran setan kemiskinan” (vicious circle of poverty). Mereka akan terus hidup tanpa jaminan kesehatan dan pendidikan yang baik sehingga kualitas sumber daya manusia yang mereka miliki akan terus menurun dan tidak memiliki daya saing. Akibat lanjutannya, mereka akan memiliki produktivitas yang rendah, dan kalau pun mereka memiliki pendapatan, maka pendapatan mereka sudah pasti rendah dan tidak akan banyak berarti untuk mengakses kesehatan dan pendidikan yang lebih baik. Begitu seterusnya. Ini lah jebakan lingkaran setan kemiskinan dalam perspekif Kebijakan Sosial, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.

Sumber: Diadaptasi dari Rakhmat (1999: 75)

         Sementara itu, dalam perspektif Ilmu Ekonomi, dengan semakin rendahnya pendapatan masyarakat—karena sebagian besar harus digunakan untuk membiayai tanggungan adat dimaksud—akan berakibat pada semakin rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya tabungan dan investasi akan berakibat pada keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal, yang berakibat pada rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas akan semakin menyebabkan rendahnya pendapatan. Begitu seterusnya. Ini lah jebakan lingkaran setan kemiskinan lainnya, sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.

Sumber: Diadaptasi dari Ragnar Nurkse (1953), di dalam Kuncoro (2014: 246)

         Dengan semakin kompleksnya hubungan kekerabatan secara adat yang dimiliki oleh suatu keluarga, maka semakin banyak pula tanggungan adat yang harus dipikul oleh keluarga tersebut. Suatu keberkahan yang ternyata harus berbuah ironi. Kondisi ini semakin diperparah dengan karakteristik masyarakat Tanimbar yang sebagian besar masih menggantungkan diri pada sektor pertanian tradisional. Padahal, masyarakat yang masih menggantungkan diri pada sektor pertanian yang subsisten, metode produksi yang tradisional, yang sering kali dibarengi oleh sikap apatis terhadap lingkungan (termasuk lingkungan sosial), cenderung akan terus hidup di dalam kemiskinan (Kuncoro, 2014: 245).

         Selain pergeseran nilai di atas, yang menyebabkan kemiskinan, nilai duan lolat juga telah diseret-seret ke dalam arena politik praktis dan perburuan rente. Di dalam setiap hajatan politik yang berlangsung di Tanimbar, ada saja elite politik yang memanfaatkan duan lolat sebagai mesin pendulang suara. Demi kepentingan politik jangka pendek, relasi duan lolat yang sejatinya berada di ruang privat masyarakat Tanimbar, dengan mudahnya dijadikan tameng dalam perhelatan politik yang berlangsung di ruang publik. Akibatnya, hampir setiap peristiwa politik yang terjadi di Tanimbar selalu menyisakan keretakan hubungan kekerabatan di masyarakat. Tidak hanya itu, para pemburu rente di Tanimbar kerap memanfaatkan celah nilai duan lolat untuk melakukan moral hazard. Atas nama duan lolat, mereka rela mengeruk sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau pun golongan.

         Dalam konteks kelembagaan, hubungan duan lolat yang begitu luhur ini bisa saja kita analogikan pada hubungan antar lembaga publik. Sebagai contoh, lembaga legislatif yang ada di daerah (baca: DPRD) bisa saja kita sebut sebagai pihak duan, karena DPRD merupakan representasi dari masyarakat yang ada di daerah itu. Sementara lembaga eksekutif atau Pemerintah Daerah bisa kita sebut sebagai pihak lolat yang bertugas untuk melaksanakan berbagai kerja eksekutif dengan tujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Dalam konteks lain, Pemerintah Daerah bisa saja diposisikan sebagai pihak duan yang merepresentasi masyarakat di daerahnya dengan menyelenggarakan tender proyek secara adil dan transparan. Sementara itu, para pelaku usaha yang mengikuti tender proyek (baca: kontraktor) bisa bertindak sebagai pihak lolat. Bagi kontraktor yang memenangkan tender, harus dapat melaksanakan proyek tersebut dengan mengikuti standar dan kinerja proyek sebagaimana telah disepakati dalam proses tender, sebagai wujud penghormatan terhadap duan-nya tadi (baca: Pemerintah Daerah).

         Barangkali seperti itu lah semangat duan lolat yang dapat kita aplikasikan ke dalam konteks publik. Nampaknya relasi duan lolat dalam berbagai urusan publik akan sangat bermanfaat apabila terus menerus kita analogikan. Catatan kritisnya adalah jika urusan duan lolat yang begitu privat ini dipaksakan untuk diterapkan secara utuh (tanpa dianalogikan) dalam konteks publik, sangat mungkin akan terjadi benturan yang menyebabkan kerugian bagi publik itu sendiri. Weber (1949) telah mengingatkan hal ini dengan mengatakan bahwa salah satu ciri birokrasi publik adalah impersonal atau bebas nilai. Sayangnya, masih ada saja pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang seringkali memanfaatkan celah duan lolat untuk melakukan berbagai upaya perburuan rente. Dalam tender proyek, misalnya, berbagai upaya gratifikasi dan mark-up bisa saja dilakukan atas nama duan lolat. Dalam berbagai peristiwa politik di Tanimbar, sebagaimana disampaikan di atas, ada saja elite yang dengan sengaja memanfaatkan celah duan lolat untuk meraup suara pemilih dan simpati publik. Padahal, bila merujuk pada pengertian duan lolat di atas, dapat kita sepakati bahwa relasi duan lolat sejatinya harus tetap berada pada ruang privat masyarakat Tanimbar dan tidak perlu diseret-seret untuk masuk ke dalam arena perburuan rente, termasuk ke dalam hiruk pikuk kompetisi politik yang berlangsung di daerah ini.

 

Dilema Pembangunan

Pergeseran makna duan lolat sebagaimana dijelaskan di atas sedikit atau banyak telah turut mengganggu efektifitas pelaksanaan pembangunan yang berlangsung di daerah ini. Sebagaimana dijelaskan oleh van Meter dan van Horn (1975), Edwards III (1980), Grindle (1980), Mazmanian dan Sabatier (1983), serta Cheema dan Rondinelli (1983), lingkungan sosial merupakan salah satu variabel kunci yang menentukan sukses tidaknya implementasi program-program pembangunan di masyarakat. Jika merujuk pada pendapat para ahli di atas, maka dalam pelaksanaan pembangunan di Tanimbar, duan lolat merupakan salah satu nilai kearifan lokal yang terdapat dalam variabel lingkungan sosial. Ketika telah terjadi pergeseran makna duan lolat, sebagaimana dijelaskan di atas, maka hampir dapat dipastikan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan di daerah ini akan semakin rendah.

         Sejalan dengan pendapat para sarjana di atas, Adler dan Kwon (2000) menyebutkan bahwa sifat modal sosial yang buruk dan jelek, termasuk di dalamnya nilai kearifan lokal, tidak memberikan sumbangan yang positif bagi pelaksanaan pembangunan. Putnam (2000) memperkuat pendapat Adler dan Kwon di atas dengan menyebutkan bahwa tinggi atau rendahnya derajat modal sosial yang dimiliki oleh suatu masyarakat—yang salah satunya ditentukan oleh kualitas kearifan lokal—akan sangat menentukan pelaksanaan pembangunan. Fukuyama (2003) mempertajam pendapat Putnam di atas dengan menyebutkan bahwa untuk menentukan tinggi atau rendahnya derajat modal sosial suatu masyarakat, kita dapat melihat derajat kepercayaan atau trust yang dimiliki oleh entitas masyarakat tersebut. Semakin tinggi derajat trust suatu masyarakat, semakin baik pula kualitas modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat tersebut sehingga dapat mendukung pelaksanaan pembangunan, begitu juga sebaliknya. Salah satu manifestasi derajat trust tersebut dapat terlihat pada kualitas kearifan lokal yang dianut.

         Dengan merujuk pada pendapat Adler dan Kwon, Putnam, serta Fukuyama di atas, dapat kita simpulkan bahwa pergeseran makna duan lolat ini secara tidak langsung telah menyebabkan rendahnya derajat modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat Tanimbar. Kondisi ini tentunya sangat kontraproduktif dengan paradigma pembangunan yang berlangsung pada saat ini di banyak negara demokrasi, termasuk di Indonesia, yang membutuhkan dukungan partisipasi masyarakat yang baik.

         Sejak bergulirnya era demokratisasi dan otonomisasi di Indonesia yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,[3] telah terjadi pula perubahan paradigma dalam pelaksanaan pembangunan di negeri ini. Terkait hal ini, Pramusinto dan Hudayana (2014) mengemukakan bahwa jika sebelumnya pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan paradigma supply driven development dengan mekanisme top-down atau teknokratis, maka saat ini pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan paradigma demand driven development dengan mekanisme bottom-up atau partisipatif. Adapun beberapa isu penting dalam paradigma demand driven development yaitu: proses partisipatif, bottom-up, dan keswadayaan masyarakat.

         Dengan mempertimbangkan isu-isu penting pembangunan yang terdapat pada paradigma demand driven development sebagaimana dijelaskan di atas, sekali lagi dapat kita katakan bahwa dengan tingkat partisipasi, bottom-up, dan keswadayaan masyarakat yang rendah, yang salah satunya disebabkan oleh pergeseran nilai duan lolat ke arah yang negatif, yang berlangsung di masyarakat Tanimbar, maka pelaksanaan agenda-agenda pembangunan di daerah ini sejatinya tengah menghadapi persoalan serius. Kondisi ini perlu segera disikapi karena proses transisi sosial (perubahan sosial) yang sedang dan akan berlangsung di Tanimbar memiliki dosis yang tinggi.

         Setidaknya ada 3 (tiga) alasan yang bisa dikemukakan untuk menjelaskan situasi ini. Pertama, karena posisinya yang berada di kawasan perbatasan di wilayah selatan, Kabupaten Maluku Tenggara Barat telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai “Gerbang Selatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, melalui Keputusan Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Nomor 2, Tanggal 7 Januari 2011, tentang Rencana Induk Pembangunan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2014. Dalam rangka itu, berbagai instalasi vital negara, seperti instalasi militer, instalasi perhubungan laut dan instalasi perhubungan udara tengah dikembangkan di Tanimbar. Kedua, berbagai Multi National Corporation (MNC) di bidang minyak dan gas bumi tengah melakukan kegiatan eksplorasi di Tanimbar. Setidaknya ada 3 (tiga) MNC yang melakukan kegiatan ini, yaitu: (i) Inpex Corporation dari Jepang, (ii) China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dari Tiongkok, dan (iii) British Petroleum (BP) dari Inggris. Dari tiga MNC tersebut, Inpex Coporation dari Jepang sudah akan melakukan kegiatan eksploitasi dalam waktu dekat—diperkirakan pada tahun 2022 mendatang. Dalam rangka itu pula, berbagai perusahaan ikutan MNC-MNC di atas tengah melaksanakan berbagai aktivitas persiapan di daerah ini. Ketiga, dengan mempertimbangkan potensi sumber daya alam di atas, maka melalui agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 ini, Tanimbar akan menjadi salah satu daerah tujuan penting di kawasan ASEAN. Arus manusia, uang dan barang akan berlangsung secara masif di daerah ini.

 

Penutup

Kajian terhadap celah kearifan lokal duan lolat pada masyarakat Tanimbar merupakan sepenggal mozaik dari potret buram kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Dengan mengacu pada uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa terjadinya pergeseran nilai duan lolat sebagai sebuah nilai kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat Tanimbar ke arah yang negatif, turut menunjukkan rendahnya derajat modal sosial masyarakat di daerah ini. Dengan situasi anomali seperti ini, pelaksanaan pembangunan di daerah ini sejatinya tengah menghadapi persoalan serius, yang jika tidak segera ditangani dengan baik akan menjadi “bom waktu” bagi keberlangsungan pembangunan itu sendiri.

         Ke depan, berbagai upaya perbaikan perlu terus dilakukan oleh setiap pemangku kepentingan. Setidaknya ada 2 (dua) langkah strategis yang bisa dilakukan dalam proses rekonstruksi ini. Pertama, perlu dibangun dialog secara masif di masyarakat mengenai hakikat nilai duan lolat. Melalui dialog-dialog ini, kesadaran (awareness) masyarakat akan makna nilai duan lolat yang sebenarnya akan muncul, sehingga perilaku-perilaku konsumtif dan menyimpang dalam relasi duan lolat akan dapat dihilangkan, atau setidaknya diminimalisir. Melalui proses ini juga diharapkan dapat terjadi re-internalisasi nilai duan lolat di masyarakat dengan sebelumnya menemukenali hakikat nilai duan lolat yang sebenarnya. Proses ini penting untuk membangun rasa memiliki (sense of belonging) terhadap nilai duan lolat, sehingga penyimpangan-penyimpangan yang selama ini dilakukan tidak akan berulang kembali. Kedua, perlu dilakukan penguatan kelembagaan di masyarakat dengan cara mengadvokasi berbagai regulasi di tingkat desa yang bertujuan untuk merasionalisasi relasi duan lolat. Dengan regulasi-regulasi tersebut, akan ada batasan yang jelas mengenai kontribusi seseorang dalam hubungan duan lolat, sehingga dapat meminimalkan perilaku konsumtif dan menyimpang yang muncul di dalam relasi duan lolat tersebut.

         Agar berbagai upaya perbaikan nilai duan lolat ini bisa berlangsung secara efektif, dibutuhkan peran dan campur tangan dari semua pranata sosial yang ada di masyarakat, mulai dari keluarga, lingkungan sosial, sampai pada institusi pemerintah. Berbagai upaya perbaikan sebagaimana disebutkan di atas perlu segera dilakukan, agar nilai duan lolat sebagai salah satu kearifan lokal yang selama ini telah hidup mengakar di masyarakat Tanimbar dapat kembali menemukan rohnya, dan pada gilirannya nanti dapat memberikan sumbangan positif bagi pelaksanaan pembangunan di negeri ini.

 

Daftar Bacaan:

Abdullah, Irwan dan Ben White. 2001. Social Security dan Resiprositas di Jawa: Gotong Royong Pembangunan Rumah di Kaliloro, 1973-2000. Yogyakarta: Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University.

Adler, P. dan S. Kwon. 2000. “Social Capital: The Good, the Bad and the Ugly”, dalam Knowledge and Social Capital: Foundations and Applications. Butterworth-Heinemann.

Bohm, C.J. 1995. Sejarah Gereja Katolik di Tanimbar: 1910-1995. Saumlaki: Pusat Pengembangan Karya Pastoral Wilayah Tanimbar.

Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang. Diterjemahkan oleh Pepep Sudrajat dan disunting oleh Tika Noorjaya. Cetakan Pertama. Jakarta: LP3ES.

Chambers, Robert. 1996. PRA (Participatory Rural Appraisal): Memahami Desa Secara Partisipatif. Diterjemahkan oleh Y. Sukoco. Yogyakarta: Kanisius dan Yayasan Mitra Tani.

Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli. 1983. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publications.

de Jonge, Nico dan Toos van Dijk. 2011. Kepulauan yang Terlupakan di Indonesia: Seni dan Budaya Maluku Tenggara, diterjemahkan oleh Marlon Ririmasse. Ambon: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Maluku dan Maluku Utara.

Drabbe, P. 1928. Missie-afdeeling op Larat en Fordate, dalam Een Kwart Eeaw Apostolaat: 1903-1928. Tilburg: Missie van het Heiling Hart.

Drabbe, P. 1989. Etnografi Tanimbar, diterjemahkan dan disunting oleh Karel Mouw. Leiden: E.J. Brill.

Edwards III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington: Congressional Quarterly Press.

Fukuyama, Francis. 2003. Social Capital and Economic Development. London: Routledge.

Geertz, Clifford. 1963. Agricultural Involution: the Processes of Ecological Change in Indonesia. Berkeley: University of California Press.

Grindle, Marilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World. New Jersey: Princenton University Press.

Koritelu, Paulus. 2009. Perubahan Hubungan Sosial Duan dan Lolat di Olilit, Tanimbar, MTB, dalam Kurun Waktu 1995-2004. Disertasi pada Program Studi Sosiologi, Universitas Indonesia (Tidak dipublikasikan).

Kuncoro, Mudrajad. 2014. Otonomi Daerah: Menuju Era Baru Pembangunan Daerah. Edisi 3. Jakarta: Erlangga.

Lerebulan, Aloysius. 2011. Tanimbar, Maluku Tenggara Barat: antara Tradisi dan Kehidupan Modern. Yogyakarta: Kanisius.

Mazmanian, Daniel A. dan Paul A. Sabatier. 1983. Implementation and Public Policy. Scott. New Jersey: Foresman and Company.

Pangemanan, Fritz dan C.J. Bohm. 2011. Sejarah Gereja Katolik di Tanimbar: 1910-2010. Yogyakarta: Kanisius.

Pramusinto, Agus dan Bambang Hudayana. 2014. Materi Kuliah Perencanaan dan Kebijakan Sosial pada Program Doktor Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Tidak dipublikasikan).

Putnam, Robert D. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon and Schuster.

Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi? Bandung: Rosdakarya.

Sztompka, Piötr. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial, diterjemahkan oleh Alimandan dan diedit oleh Tri Wibowo B.S. Jakarta: Prenada.

Tὅnnies, Ferdinand. 1963. Community and Society, diterjemahkan dan disunting oleh Charles P. Loomis. New York: Harper and Row.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-undang.

van Meter, Donald S. dan Carl E. van Horn. 1975. “The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework”, dalam Administration and Society, Vol. 6, No. 4.

Weber, Max. 1949. The Methodology of Social Sciences, diterjemahkan dan disunting oleh Edward A. Shils dan Henry A. Finch. New York: The Free Press.

Wuritimur, Amrosius. 2012. Basudara Orang Tanimbar: Model Kearifan Lokal. Yogyakarta: Kanisius.

 

 

[1] Walaupun sampai saat ini tidak ada catatan resmi mengenai jejak populasi gajah di Tanimbar, pada kenyataannya gading gajah dipakai sebagai barang adat dalam relasi duan lolat. Fenomena empiris ini bisa dikaji lebih lanjut melalui penelitian ilmiah.

[2] Penulis percaya bahwa tidak semua praktek duan lolat yang dilakukan oleh masyarakat Tanimbar menggambarkan pergeseran ke arah negatif. Saat ini masih ada relasi duan lolat yang berlangsung secara otentik, walaupun jumlahnya semakin langka.

[3] Telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008, dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.


 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun