Mohon tunggu...
Novita Mandasari
Novita Mandasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Seorang istri sekaligus pengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pertimbangan Melaksanakan UN

27 Februari 2018   19:41 Diperbarui: 27 Februari 2018   19:46 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: riaupos.co)

Ujian Nasional yang akan berlangsung pada bulan April mendatang menjadi topik yang menarik dibicarakan dikalangan orangtua. Persiapan demi persiapan mulai dilakukan orangtua salah satunya adalah mengikuti bimbingan belajar. Persiapan menjelang Ujian Nasional juga dilakukan oleh sekolah mulai dari memberikan pelajaran tambahan di luar jam sekolah, membuat tryout , dan pengadaan komputer yang akan digunakan pada saat Ujian Nasional. Persiapan tersebut dilakukan agar siswa dapat lulus.

Ujian Nasional (UN) masih menjadi momok yang menakutkan bagi siswa dan orangtua di Indonesia. Pro dan kontra terjadi di masyarakat dalam memandang kebermanfaatannya. Pada tahun 2003 Depdiknas mengganti istilah Ujian Nasional menjadi Ujian Akhir Nasional hingga tahun 2004.

Tahun 2003 ditetapkan nilai minimal kelulusan 3,0 pada setiap mata pelajaran dengan nilai rata-rata 6,0, kemudian di tahun 2004 nilai minimal kelulusan menjadi 4,0. Di periode tersebut siswa yang tidak lulus masih diperbolehkan mengikuti ujian ulang, meskipun banyak pihak yang tidak setuju Ujian Akhir Nasional menjadi tolak ukur kelulusan siswa.

Pada perkembangan selanjutnya tahun 2005 hingga sekarang, UAN kembali diganti menjadi UN akan tetapi sistem penilaiannya masih sama saja dengan UAN dengan nilai minimal kelulusan terus meningkat dan di tahun 2007 siswa yang tidak memenuhi minimal batas kelulusan harus mengambil Paket C dan ikut ujian kelulusan di tahun berikutnya.

Ketakutan tidak lulus dan harus mengulang ujian ditahun berikutnya mengakibatkan siswa, orangtua, guru, kepala sekolah nekat melakukan banyak cara termasuk kecurangan. Pada pelaksanaannya setiap tahun terjadi kebocoran soal UN. Kecurangan-kecurangan yang terjadi pada UN adalah aib bagi dunia pendidikan kita.

Pada tahun 2016 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sempat mengusulkan agar UN 2017 dimoratorium namun usulan ini ditolak. UN tetap dilaksanakan meskipun dengan sistem yang berbeda. Wacana yang muncul kemudian adalah soal UN tahun 2018 mendatang akan berubah dari pilihan berganda menjadi esai. Menurut pemerintah soal esai akan membantu mengukur kognisi siswa dan mengurangi kecurangan. Wacana ini mendapat banyak respon negatif dari para siswa lantaran mereka merasa tidak siap bila soal UN harus diganti dengan esai.

Keinginan pemerintah untuk mengganti soal UN menjadi esai haruslah dilakukan dengan melihat beberapa pertimbangan diantaraya, pertama kesiapan siswa yang juga berhubungan dengan psikologi siswa. Selama ini siswa terbiasa dengan soal-soal pilihan berganda kemudian dalam waktu kurang lebih satu tahun pemerintah ingin merubahnya menjadi esai. Ini akan memberatkan siswa, bahkan mungkin saja akan memberikan hasil yang tidak memuaskan. Kedua adalah kesiapan guru dan seluruh pihak sekolah. Kemudian yang ketiga adalah bagaimana penilaian jawaban soal esai.

Ujian Nasional sebenarnya baik dilakukan apabila sistem pendidikan di Indonesia sudah dikelola dengan baik. Pemerataan dan peningkatan pendidikan baik fasilitas sarana prasana dan tenaga pengajar adalah hal yang paling penting. Ini menjadi pekerjaan besar yang harus diselesaikan.

Selanjutnya, Ujian Nasional tidak boleh menjadi tolak ukur dari kelulusan siswa. Kelulusan siswa harus mengikutsertakan peranan guru dan seluruh pihak sekolah. Guru adalah orangtua siswa di sekolah. Guru mengetahui kemampuan intelegensi, perubahan sikap siswa. Oleh sebab untuk menentukan seorang siswa lulus atau tidak peranan guru sangat dibutuhkan.

Kelulusan tidak hanya berbicara tentang angka-angka tetapi erat kaitannya dengan perubahan sikap anak, moral, dan tanggungjawab. Bukankah pendidikan adalah proses mentransfer ilmu, seni, teknologi, nilai-nilai, tradisi, budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya ?. Oleh sebab itu jangan sampai pendidikan di Indonesia direduksi ukurannya menjadi sebatas angka-angka.

Masa depan siswa adalah yang paling utama dan harus dikedepankan. Oleh sebab itu bila membuat sebuah sistem, Pemerintah harus mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya bagi siswa. Biarkan siswa menyenangi masa-masa bersekolah tanpa merasa ketakutan dengan "hantu" bernama predikat kelulusan.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun