Mohon tunggu...
Bahas Sejarah
Bahas Sejarah Mohon Tunggu... Guru - Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarah Bangsanya Sendiri

Berbagi kisah sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Para Puan Angkat Senjata

24 Mei 2023   15:00 Diperbarui: 24 Mei 2023   15:05 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi para puan pejuang (sumber: nuestrotiempo.com.do)

Bahwa tidak ada yang lebih kuat di dunia ini, jika perempuan telah angkat senjata. Itulah kira-kira kalimat yang pernah terucap oleh seorang komandan Soviet ketika melihat batalyon perempuan berdiri di barisan depan pertempuran. Seakan tidak ada rasa takut dan putus asa, karena sejatinya tugas para puan pejuang adalah di barisan belakang.

Inilah guratan kisah, atas apa yang terjadi pada masa revolusi Indonesia. Pasukan para puan yang turut angkat senjata melawan penjajah Sekutu ataupun Belanda. Di berbagai front diberitakan kisah-kisah perjuangan mereka dalam menghadapi pasukan yang modern dan berpengalaman. Sedangkan, pasukan para puan, sedianya hanyalah berangkat dari para milisi bersenjata yang diperbantukan. Bahkan dadakan angkat senjata.

Tidak di garis depan pertempuran, melainkan sebagai palang merah atau petugas logistik di dapur-dapur darurat. Namun, fakta sejarah berkata lain dari kebiasaan. Serupa dengan para puan yang berjuang di berbagai negara, dalam menjaga kedaulatan negaranya. Bahkan nama mereka biasanya turut sirna, seiring berakhirnya pertempuran.

Hal ini karena nyaris tidak ada para puan yang menyandang pimpinan komando atau kesatuan. Semua lebur dibawah koordinasi dibawah TNI atau kelaskaran. Terlebih pasukan para puan tidak secara resmi dibentuk atau terkoordinasi. Inilah yang jadi dasar mengapa Irna Hadi mengungkapkannya kisah perjuangan para puan pada "Seribu Wajah Perempuan Pejuang".

Tidak lain demi menghormati para puan yang berjibaku di medan juang. Khususnya bagi mereka yang berada di garis depan. Seperti kisah para puan di Laswi, yang angkat senjata tanpa kenal takut. Namun, apakah para pejuang Laswi kita kenali saat ini? Bukanlah hal yang tabu, jika bicara semangat para puan. Bukan pula menyoal R.A. Kartini atau Dewi Sartika. Mungkin atas dasar kisah Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Nyi Ageng Serang, Mpok Ris, Siti Manggopoh, Christina Martha Tiahahu, dll.

Nama para puan tidak sekedar termanifestasi dalam locus emansipasi gender. Maka, luputlah sejarah Indonesia, jika tidak sertakan berbagai kisah perjuangan mereka. Walaupun tetap saja terdominasi oleh peran kaum lelaki. Kisah emak-emak zaman old bukanlah sekedar raja jalanan, melainkan raja rimba dan gerilya. Baik di garis depan, tengah, hingga belakang. Tak luput dari peran serta para puan. 

Maka dapatlah dipahami, bahwa perjuangan bangsa tidak melulu berangkat dari kaum laki semata. Perempuan sudah kerap angkat senjata dan bukan lagi sekedar angkat jemuran dalam tugas-tugas rumah tangga. Ini kiranya yang membuat Rasulullah SAW dan para sahabat sangat menjunjung tinggi derajat para puan yang berjuang. Apalagi para puan yang turut angkat senjata di medan perang, seperti kisah Nusaibah.

Menyandang status sebagai pejuang tentu mempunyai amanah berat. Selain meninggalkan keluarga dan bahkan anak-anaknya. Para puan pejuang juga memiliki tugas yang paling mematikan. Biasanya adalah sebagai mata-mata. Maka wajar jika banyak dari mereka yang gugur di ruang tahanan. Selain kekerasan dan penyiksaan selama pada masa penahanan oleh musuh. Hal ini nyaris tidak pernah diungkap sebagai bentuk dari kejahatan perang. Bahwa para puan pejuang adalah yang paling banyak menerima pelanggaran HAM, beserta kekerasan seksual selama jadi tahanan.

Catatan mengenai ini dapat diketahui melalui kisah Poncke Princen tentang peristiwa yang dialami oleh Asmuna. Diketahui bahwa Asmuna ditemukan tewas dengan luka bekas tembakan usai dilecehkan oleh serdadu Belanda. Soegih Arto pun menuliskan kisah serupa pada memoarnya sebagai pasukan Siliwangi yang kala itu tengah menghadapi pasukan KST. Lokasinya tidak jauh dari Gunung Halu, Bandung Barat. Pasukan KST mengumpulkan para wanita untuk dilecehkan secara seksual.

Itulah beberapa kisah terberat yang dialami oleh para puan pejuang. Berangkat dari kisah-kisah tersebut, maka wajar jika para puan pejuang terbangun solidaritasnya. Biasanya sahabat atau teman selaskar akan melakukan aksi balas dendam. Inilah yang menimbulkan rasa berani namun gelap mata. Hingga tanpa sadar aksi balas, justru akan membuat dirinya sebagai korban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun