Mohon tunggu...
novita putri yunardi
novita putri yunardi Mohon Tunggu... Lainnya - Law

Mahasiswa Universitas Jambi Fakultas Hukum Angkatan 2018

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konfrotasi Omnibus Law yang merugikan Masyarakat Golongan Bawah

14 Desember 2020   17:47 Diperbarui: 14 Desember 2020   17:50 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

    ketiKa masuk menjadi undang-undang, nantinya akan terjadi konfrontatif ketika masuk di Parlemen. Tidak hanya kepentingan hukum saja yang diakomodir tetapi juga kepentingan politik. Apabila omnibus law dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden maka konfrontasi yang terjadi tidak akan sehebat sekarang. 

Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat dua kritik terhadap omnibus law. Pertama, omnibus law tidak demokratis dalam segi politik karena proses pembentukannya yang tidak berimbang, hanya menggunakan sudut pandang tertentu. Kedua, sulitnya mengubah mindset masyarakat terkait sistem hukum, sehingga akan menjadi tantangan bagi para penegak hukum. Ketika menggunakan transplantasi hukum dengan konteks hukum yang berbeda maka hanya akan mendapatkan jalan buntu.

RUU cipta kerja yang bermasalah bukan hanya satu-dua, tetapi banyak sekali dan nyata. Di antaranya adalah yang pertama adalah penghapusan upah minimum. Upah pekerja yang semula sesuai dengan upah minimum kabupaten/kota (UMK) beralih ke upah minimum provinsi (UMP).

Hal ini akan menyebabkan kesenjangan ekonomi di berbagai daerah, mengingat kebutuhan setiap daerah (kabupaten/kota) berbeda-beda. Poin ini dinilai membuat upah pekerja semakin rendah.

Kedua, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum, tetapi dengan adanya RUU cipta kerja yang baru, sanksi pidana bagi pengusaha yang menggaji pekerja di bawah upah minimum dihilangkan. Itu berarti, pengusaha bebas seenaknya menggaji pekerja karena tidak ada perlindungan hukum bagi pekerja kecil jika sewaktu-waktu upah mereka dibayar jauh di bawah upah minimum.

Ketiga, diberlakukannya pasal yang menyatakan bahwa lama waktu kontrak kerja diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha. Sehingga, kontrak kerja bisa berlaku seumur hidup dan alhasil pekerja tidak akan mendapat kepastian untuk menjadi pegawai tetap. Pasal ini juga membuat pengusaha bisa seenaknya melakukan PHK kapan saja. Uang pesangon pun dipangkas menjadi lebih rendah dalam RUU cipta kerja ini, yaitu nilai pesangon yang awalnya dari 32 bulan upah dipangkas menjadi 25 bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Keempat, Omnibus Law pada pasal 42 mempermudah perizinan tenaga kerja asing (TKA) untuk bekerja di Indonesia. Pasal tersebut mengamendemen pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Apabila mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, diatur TKA harus mepunyai beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Namun dengan adanya RUU baru ini, perusahaan yang menjadi sponsor dari TKA hanya memerlukan RPTKA saja.

Itu hanya sebagian kecil yang saya paparkan tentang ketidakberesan Omnibusuk ini. Jika undang-undang itu memang diperuntukkan untuk rakyat yang butuh kesejahteraan dalam bekerja, mengapa pemerintah justru menutup telinga terhadap kritik keras dari rakyat dan membabat habis kepercayaan mereka? Jika RUU cipta kerja memang untuk para pekerja, pekerja mana yang dimaksud pemerintah?

Untuk itu sangat disayangkan pemerintah seperti sengaja menutup telinga dan membutakan mata terhadap suara rakyat yang menggaung sejak bulan-bulan yang lalu. Dengan disahkannya Omnibus Law, hak-hak pekerja Indonesia semakin hilang dan tidak ada jaminan pasti dalam pekerjaan mereka. Atas dasar itu, kami menolak pengesahan Omnibus Law, apalagi pengesahannya dilakukan secara tidak lazim dan di tengah fokusnya masyarakat dalam berjuang melawan pandemi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun