Mohon tunggu...
Kadek Novianti Puspa Sari Dewi
Kadek Novianti Puspa Sari Dewi Mohon Tunggu... Operator - Mahasiswa STAH N Mpu Kuturan Singaraja

Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ayo! Cermati, Pahami, dan Beri Aksi

22 Januari 2020   16:19 Diperbarui: 22 Januari 2020   16:20 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia saat ini telah terjadi krisis moralitas dan krisis akan peradaban manusia, yang salah dibenarkan benar disalahkan. Bahkan jika sesuatu yang sudah benar maka dicari-cari kesalahannya. Masyarakat dewasa ini 70 sampai 80 persennya hidup dalam dunia maya, terpacu pada aktivitas-aktivitas media sosial dan media massa. Mirisnya adalah media saat ini bukan malah membawa suatu kemajuan tapi membawa suatu kesalahpaham, bullying, kejahatan, memprovokasi, dan lain sebagainya, meski tidak semua bersifat negatif tapi kita sadari bersama bahwa hal negatiflah yang lebih menonjol pada media-media saat ini.

Kepentingan-kepentingan yang dimiliki seseorang seakan membuat mereka buta dan melupakan akan dampak apa yang terjadi akibat tindakan yang mereka lakukan. Karena di sini mereka hanya memikirkan bagaimana orang tertarik dengan apa yang telah mereka sajikan pada suatu media dan mereka mendapatkan finansial dari kegiatan dan tindakan yang mereka buat. Kita tidak bisa menyalahkan media karena kita sendiri tidak bisa menghentikan aktivitas digital. Setiap orang bebas berkreasi apapun, membagikan cerita yang mereka miliki, mencari informasi-informasi yang terkait dan masih banyak lagi yang lainnya. Seperti informasi-informasi tentang mempertanyakan jiwa nasionalis akibat ia yang mengakui tidak memiliki darah keturunan Indonesia. 

"Karena sebenarnya aku engga punya darah Indonesia atau apapun itu, Aku berdarah Jerman, Jepang, China dan aku hanya lahir di Indonesia. Aku juga beragama Kristen dan mayoritas di Indonesia adalah Muslim. Jadi aku engga akan bilang, aku engga pantas berada disana karena orang-orang menerimaku apa adanya. Tapi selalu ada perasaan aku tidak seperti orang-orang lainnya" ujar Agnez Mo kepada Host

Begitulah ulasan yang disampaikan oleh salah satu penyanyi yang terkenal di Indonesia dan di kancah dunia. Mungkin kalian sudah tahu dan tidak asing lagi dengan kalimat diatas, bahkan hal ini menjadi trending topik pada media massa dan media sosial hingga membawa iming-iming kata "nasionalis". Kasus ini begitu cepat tersebar kejejaring sosial, tanpa mencari kebenaran terlebih dahulu.

Pertanyaan yang timbul dari benak saya adalah siapakah orang yang berniat mempotong cuplikan video yang awalnya berdurasi 6 sampai 7 menit menjadi 30 detik? Dan pertanyaan kedua adalah untuk apa ia mengedit video ini dan membagikannya ke media massa dan media sosial? Terlebih lagi hal ini sangat memicu reaksi dimasyarakat apalagi membawa kata Indonesia. Inilah mengapa saya katakan bahwa aktivitas digital tidak bisa kita hentikan begitu saja, karena setelah rekaman wawancara yang di lakukan oleh Agnez Mo di Amerika Serikat itu masuk ke media, maka siapapun bisa mengunduh, mengubah, mengkritiksi dan membagikan ulang apa yang sudah ada, meski nanti hal itu akan membuat makna awal menjadi berubah dan membuat khalayak salah paham dan salah persepsi.

Jika kita lihat dari kasus yang terjadi, orang yang mengubah video ini telah mengatur sedemikian rupa apa yang dikatakan oleh Agnez mengenai dia yang tidak mempunyai darah Indonesia, mendeskripsikan dia bukanlah bagian dari Indonesia. Namun jika kita merupakan pribadi yang cerdas dan memiliki pengetahuan serta kontrol sosial yang bagus hendaknya kita mencari kebenaran terlebih dahulu. Karena kata "Blood" yang ia sampaikan, menggambarkan secara genetik bukan tentang kebangsaan yang dimiliki oleh Agnez sendiri. Bahkan ini menimbulkan pro kontra dalam masyarakat, masyarakat pun begitu cepat menghakimi dengan mempertanyakan jiwa nasionalis yang dimiliki oleh Agnez sendiri. Padahal dalam beberapa kasus, bahkan orang yang memiliki darah (genetik) Indonesia pun kadang belum tentu memiliki jiwa nasionalis seperti Agnez Mo.

Hal kedua adalah pemahaman ini semakin menjadi kontroversial akibat adanya pemberitaan di acara-acara televisi. Kasus ini awalnya memang tersebar dalam media sosial dan pada akhirnya sampailah ke media massa yaitu televisi. Media massa khusunya televisi sangat mempengaruhi pemahaman yang ada dimasyarakat, karena secara tidak langsung televisi menjadi media pembenaran apabila ada informasi-informasi di media sosial (teori Kultivasi, George Gerbner) karena dimasyarakat telah terbentuk suatu persepsi mengenai apa yang disajikan pada televisi maka hal tersebut adalah benar, meskipun hal tersebut belum tentu benar kepastiannya.

Dengan adanya kasus ini media sangat memiliki dampak besar bagi kehidupan masyarakat. Dilihat dari bagaiman kita menyikapi suatu informasi yang ada. Kita begitu cepat menghakimi sesuatu sebelum kita mengetahui kebenarannya seperti apa. Sebenarnya tanpa kita sadari hal ini telah memperlihatkan bagaimana karakter dan pengetahuan yang kita miliki. Bahwasanya kita terlalu cepat terprovokasi, kita selalu fokus dengan hal-hal yang negatif, suka mencampuri urusan pribadi seseorang dan pengetahuan bahasa asing yang kurang. Sehingga jari-jari kita  begitu mudah untuk membagikan atau mengetik sebuah komentar dalam media sosial. Padahal jika kita mau mencari tahu lebih dalam lagi, kita akan tahu bahwa konteks dari pembicaraan tersebut ialah mengenai multikultural atau keberagaman yang terjadi di Indonesia, bukan tentang kebangsaan dan jiwa Nasionalis pada diri seseorang.

Apa yang berbeda di masyarakat dan tidak sesuai  dari yang biasanya itu akan dihakimi begitu keras, padahal kita sadari kita hidup dalam perbedaan. Lalu mengapa kita begitu menghakimi mereka yang telah berprestasi dan berjuang membawa Indonesia ke kancah Internasional hanya karena ia tidak memiliki darah Indonesia secara genetik? Lucunya lagi adalah orang yang berprestasi di hujat habis-habisan tapi orang yang memiliki sensasi dianggap berprestasi. Media seharusnya mampu membawa kita kearah yang lebih maju bukan malah membawa kita kearah perpecahan.

Mulailah mengontrol diri dan berhati-hati karena informasi saat ini disajikan untuk memenuhi kepentingan yang dimiliki oleh orang-orang tertentu. Informasi tidak cukup hanya dilihat, dibaca lalu dibagikan, namun perlu ditelusuri kebenarannya dan dipahami terlebih dahulu sebelum kita memberikan reaksi terhadap hal tersebut. Selain itu, cobalah berpikir kritis bahwa jiwa Nasionalis tidak dapat diukur dari genetik yang dimiliki oleh seseorang. Karena nasionalis ini dapat terwujud setelah kita mampu memahami dan mencintai Negara kita. Jangan hanya menanyakan bagaimana jiwa nasionalis seseorang tapi tanyalah pada diri kita sendiri, apakah kita sudah Nasionalis?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun