Sepertinya, aku terlalu menggantungkan rasa tenangku pada apa yang orang lain katakan.
Iya, sesederhana karena, aku membutuhkan pengakuan, bahwa yang aku rasakan, benar adanya.
Aku membutuhkan pembenaran, bahwa yang aku lakukan, benar adanya.
Sesaat berbeda pendapat, aku tak apa, tapi aku tak lega.
Sesaat aku mendapat penolakan, aku diam, tapi aku membencinya, dia, atau mereka.
Aku tak suka, saat ucapan mereka membuatku merasa bodoh.
Aku tak suka, saat perkataan mereka, membuatku merasa, aku memang tak layak untuk semua ini.
Aku tak suka, sesaat mereka mendukung, sesaat mereka menjatuhkanku.
Tak apa, meski mereka membalas pesanku dengan nada yang tak menenangkanku.
Aku hanya perlu menjadi tegar. Hiraukan yang tak membuatku bahagia. Karena semua akan berlalu secepat yang tak kan pernah aku sadari sebelumnya.
Meski menjadi tegar bukan berarti aku tak kan pernah bersedih. Meski menjadi kuat bukan berarti aku tak kan pernah merasa ingin menangis.
Tak apa, meski kita sedang tak baik-baik saja.
Sebuah teguran, bahwa aku hanya harus berdiri tegak dengan kedua kakiku.
Bertahan pada arus yang derasnya selalu bisa merobohkanku kapan saja.
Tanpa aku harus mendengar dia atau mereka.
Nyatanya, aku tak lagi bisa menggantungkan diriku pada mereka di sana, sesulit apapun hidupku di sini, sebab mereka nampaknya tak lagi ingin mengerti.
Sebuah kebebasan, untuk mereka memilih, bagaimana mereka ingin bersikap padaku.
Sebuah keikhlasan, untukku tak lagi berharap pada mereka.
Lepaskan saja. Biarkan.
Tak apa meski terlupakan, dan terabaikan.
Aku hanya harus terus bertahan, seperti pepohonan yang terus hidup meski teramat dingin pada musimnya.
Dia atau mereka, hanya manusia biasa. Begitupun aku.
Ya.