"Dasar penulis tak tahu diri! Bisa-bisanya dia tak mengikutsertakan diriku dalam kelanjutan kisah yang ditulisnya. Wanita itu harus diberi nganu!"
Gelegar kemarahan Raden Firdaus pagi itu, telah mengguncang seluruh pelosok kerajaan bawah laut. Beliau meluapkan emosinya sesaat setelah membaca cerpen masa depan yang berjudul Reinkarnasi Para Ikan Tenggiri.
Dengan geram beliau melempar tabletnya ke sembarang arah, seolah tak memerlukan tablet itu lagi untuk sekadar membaca cerpen. Namun, semakhluk berwujud duyung nan elok, langsung bergerak cepat menangkap tablet itu.
"Hihi hihii..," tawa geli si duyung berambut emas dengan ekor merah muda berkilauan, berenang kian mendekat kepada raja tenggiri.
"Hmm, pasti kau adalah Siskarti? Duyung pujangga yang cantik itu. Kudengar kau tak bisa bicara dan hanya mampu tertawa, tapi semua puisi yang kau tulis sungguh membuat hati terasa nganu."
"Hihi hihii..," seraya mengangguk, Siskarti menyerahkan tablet di tangannya kepada sang raja.
"Sudah, sudah! Jangan tertawa lagi, telingaku jadi nganu mendengar tawamu. Dan tablet ini, bawalah benda sialan ini bersamamu!"
Duyung itu mengibaskan ekornya dengan lincah dan genit, sembari tertawa dan menunduk hormat, ia pun beranjak meninggalkan istana.
Saat di perjalanan, ia bertemu dengan Sitimudin dan Dimalia. Kedua gadis tenggiri itu sedang bermain ABC Lima Dasar sambil mendendangkan lagu "Garam dan Madu". Bahkan dengan kreatifnya, Dimalia menyundul-nyundul sebuah kaleng wafer agar menghasilkan musik senada.
"Hai, Siskarti! Apa kau sudah pergi ke istana dan menyerukan dukunganmu pada yang mulia raja?" tanya Sitimudin.
Kacau, Siskarti baru ingat. Tadi itu, sebenarnya ia datang menghadap Raden Firdaus untuk mendukung protes, sebab ia juga tak diikutsertakan dalam dua kali cerpen yang ditulis oleh wanita sebangsa manusia itu.