Mohon tunggu...
Putra
Putra Mohon Tunggu... Freelancer - Orang Indonesia, lahir dan besar di Palembang

Penulis lepas yang tertarik dengan isu-isu seputar politik, keamanan, dan luar negeri.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama FEATURED

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Penembakan Massal di Texas dan Ohio?

5 Agustus 2019   10:31 Diperbarui: 9 Februari 2020   14:07 1230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi belasungkawa warga atas aksi penembakan di El Paso, Texas, dan di Dayton, Ohio, Amerika Serikat.|Sumber: Reuters

Amerika Serikat sekali lagi berduka. Belum setahun sejak penembakan massal di Sinagoga Pitssburg yang menewaskan 11 orang penganut Yahudi, kini penembakan massal kembali terjadi. Bukan sekali, bahkan dua kasus di tempat yang berbeda dalam 24 jam. 

Kejadian pertama terjadi di El Paso, Texas. Pria bernama Patrick Crusius, 21 tahun melepaskan tembakan di pusat perbelanjaan Walmart, 20 orang tewas dan puluhan mengalami luka, pelaku masih hidup dan ditangkap oleh pihak berwenang. 

Kasus kedua terjadi di Dayton, Ohio. Pelaku bernama Connor Betts, 24 tahun. Sembilan orang tewas, termasuk adik kandung pelaku dan puluhan mengalami luka. Connor tewas oleh timah panas polisi setelah ia terus berupaya melanjutkan aksi bengisnya itu.

Patrick Crusius saat melakukan penembakan massal (sumber: AFP)
Patrick Crusius saat melakukan penembakan massal (sumber: AFP)
Apa yang dapat kita pelajari dari aksi ini?

Pertama, Crusius melakukan aksinya berlandaskan ideologi supremasi kulit putih. Berdasarkan manifesto yang dibuat oleh Crusius dan beredar di 8chan (website tempat berkumpul orang-orang dengan paham yang supremasi kulit putih), ia mengaku membenci imigran dan orang Meksiko. 

Serangan yang ia lakukan adalah respon terhadap invasi orang Hispanik di Texas, yang mana akan membuat Texas dan negara bagian lain menjadi basis Partai Demokrat. Sedangkan aparat tidak menemukan adanya motif politik atau rasial dari penembakan yang dilakukan oleh Betts.

Kedua, sejak Trump terpilih menjadi Presiden AS pada 2016, aksi penembakan massal meningkat cukup tajam, yang mana beberapa di antaranya berlandaskan ideologi supremasi kulit putih. 

Jumlah korban yang meninggal atas penembakan tersebut juga meningkat drastis. Dilansir dari Wall Street Journal, antara tahun 2017-2019 (sekarang) terdapat 23 kasus penembakan massal di AS. 

Beberapa yang menimbulkan korban paling banyak yakni di Las Vegas (2017, 58 orang tewas), Sutherland Springs (2017, 26 tewas), El Paso (2019, 20 tewas), Parkland (2018, 17 tewas), Siagoga Pittsburg (2018, 11 tewas), dan Dayton, Ohio (2019, 9 tewas).

Dari 23 kasus tersebut, setidaknya terdapat 3 kasus (Sinagoga Pittsburg, Sinagoga Poway dan El Paso) yang berlandaskan ideologi supremasi kulit putih. Semua pelaku menunjukan kebencian terhadap etnis dan atau ras tertentu, serta berdalih "mempertahankan negaranya dari invasi orang asing".

Connor Betts, pelaku penembakan di Ohio (sumber: CBS)
Connor Betts, pelaku penembakan di Ohio (sumber: CBS)
Ketiga, pelaku-pelaku penembakan yang berlandaskan ideologi supremasi kulit putih diperlakukan sebagai tersangka kasus terrorisme domestik, bukan kasus terorisme federal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun