Mohon tunggu...
Novia Elga
Novia Elga Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Call Me Novia. Sedang menjelajahi dunia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Akan "Hancur"?

3 Juli 2019   15:38 Diperbarui: 3 Juli 2019   15:50 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
flickr.com/photos/104532494@N02

Indonesia merdeka sejak tahun 1945. Namun, apakah kemerdekaan Indonesia menjamin kejayaannya di mata dunia ? Akhir-akhir ini, penulis merasakan kegalauan yang amat berat. Banyak hal yang menjadi pemikiran mengenai Indonesia ke depan. Ngapain mbak mikirin Indonesia, kan udah ada yang tugasnya mikir negara ? Emangnya dibayar ya mbak mikirin negara ? 

Ini bukan masalah tugas kita atau bukan dalam hal memikirkan negara. Oke kembali ke permasalahan yang membuat penulis galau ya. Pastinya sekarang seringkali kita menjumpai anak-anak bangsa yang menjadi korban "Pendewasaan Dini". Istilah ini saya buat sendiri dengan makna, saat ini banyak sekali anak yang melakukan berbagai hal yang tidak wajar, tidak sesuai usianya, dan tidak bertingkah laku seperti yang seharusnya. Seperti misalnya anak SD yang sudah sayang-sayangan, anak kecil yang sudah pakai WhatsApp untuk chatting, pacaran manggil ayah bunda padahal masih SD kelas lima, dan yang paling sering adalah buat story galau-galauan perihal cowok padahal masih belum waktunya (Masih SD misalnya). Pasti pembaca juga sering menemukan hal ini kan ?

Lalu siapa yang salah atas hal ini ? orang tua ? guru ? temannya ? atau anak itu sendiri ?

Ada beberapa persepsi publik dalam hal ini, yaitu :

1. Salahnya orang tuanya dong, nggak bisa mendidik anaknya dengan bener. Orang tuanya aja main gadget terus kalau anaknya di rumah. Makanya anaknya ikut-ikutan. Persepsi ini bisa dipertimbangkan, namun tidak sepenuhnya benar. Tidak semua orang tua seperti itu, bahkan banyak juga orang tua yang sangat perhatian dan menjaga anaknya dengan sebaik-baiknya.

2. Salahnya guru dong, tugasnya kan mendidik anak menjadi manusia yang baik. Persepsi ini bisa dipertimbangkan namun tidak sepenuhnya benar juga. Karena pendidik mengerahkan segala usaha dan upaya untuk membentuk karakter anak agar menjadi lebih baik. Bahkan, pendidik juga tidak pernah letih dalam mengingatkan peserta didiknya ketika berbuat salah, guru lah yang akan mengajarkan nilai-nilai norma kepada peserta didik, guru pula yang bersusah payah mampu menjadi orang tua yang baik di sekolah. 

3. Bukan, ini mah salah temannya mungkin. Karena teman-temannya buruk sehingga dia ikutan gitu. Ini pun tidak sepenuhnya benar. Karena banyak juga anak yang tidak berpengaruh saat ditempatkan di lingkungan yang buruk, bahkan dia mampu memberikan dampak positif kepada teman-temannya.

4. Yaudah berarti salahnya anak itu sendiri. Siapa suruh dia minta hape saat masih kecil. Persepsi ini jangan dilanjutkan lagi ya. Karena sekali lagi, mereka adalah korban. Mereka adalah dampak dari penjajah digital yang tidak bertanggung jawab. Jadi, ini bukan sepenuhnya kesalahan anak.

Lalu salah siapa ? Yang harus bertanggung jawab siapa ?

Sebenarnya kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja, karena memang semuanya saling berkaitan dan yang saling berkaitan itulah yang harus bertanggung jawab. Demi keselamatan Indonesia ke depan. Indonesia akan hancur perlahan jika generasinya dirusak seperti ini. Bahkan, tidak lama lagi mungkin anak-anak sudah tidak peduli lagi dengan Bangsa Indonesia, mereka lebih peduli dengan gadgetnya, lebih peduli dengan teman dunia maya nya, lebih peduli dengan pacarnya padahal masih kecil dan belum waktunya. Ini bukan ramalan, tapi coba sekejap kita bayangkan.

Bayangkan jika anak-anak dibiarkan terus-terusan bermain gadget tanpa tahu waktu sehingga dia lupa belajar, lupa berkomunikasi dengan ayah ibu, lupa dengan lagu-lagu kebangsaan, lupa dengan UUD 1945, lupa dengan pancasila, atau bahkan lupa nama presidennya siapa. Hahaha ini pasti akan terjadi jika kita tidak mulai bertindak.

Bayangkan jika anak SD atau SMP dibiarkan terus-terusan membuat story WhatsApp yang dipenuhi dengan kalimat-kalimat galau nggak karuan, profil WhatsApp-nya sudah bergandengan tangan, pelukan, atau adegan mesra yang sering ditayangkan di TV kesukaannya. Dampaknya adalah peristiwa seperti ini menjadi hal yang sudah biasa, diabaikan, sehingga anak akan bertindak lebih lagi untuk mencari perhatian. Jangan sampai hal ini terjadi.

Lalu apa yang harus kita lakukan ? 

1. Menjadilah orang yang bijak

Sebagai manusia yang masih ingin Indonesia tetap utuh hingga kapanpun, kita harus bijak untuk mengarahkan mereka. Perlahan namun pasti karena semuanya butuh proses. Cobalah menasehati mereka lewat pendekatan personal. Mungkin jika itu saudara kita sendiri, kita sering-sering mengajak mereka ke toko buku untuk mengalihkan perhatiannya dari gadget, mengajak ke taman atau wisata edukasi, mengenalkan dengan permainan tradisional yang seru, mengajak bermain ke rumah saudara. Atau dengan hal yang sederhana saja, coba membuat mereka nyaman dengan bercanda bersama keluarga di depan TV. Ciptakan lingkungan yang positif untuk mereka. Sebagai orang yang bijak, bisa kan kita memberikan kebermanfaatan untuk sesama ? Bisa dong.

2. Biasakan dengan hal positif

Pembiasaan itu perlu. Bahkan kebanyakan orang sukses pasti memiliki kebiasaan yang unik dalam kehidupannya, tentunya kebiasaan yang positif ya. Misalnya dia dibiasakan oleh orang tuanya untuk rajin menabung. Kita bisa menerapkan hal ini kepada anak atau saudara kita. Jadi, uang tidak hanya untuk membeli paketan internet terus. Sesekali belikan dia celengan (tempat uang) yang menarik dan lucu agar mereka tertarik untuk menabung. Berikan mereka iming-iming atau rewards jika kebiasaan itu dapat dilaksanakan. 

Adapula yang dibiasakan untuk membaca, misalnya saja setiap weekend kita mengajak mereka untuk pergi ke perpustakaan yang ada di taman, atau mungkin membuat perpustakaan mini di rumah. Tidak perlu yang mewah, tapi yang menarik agar mereka tidak bosan dengan kebiasaan ini. Saya pernah membaca buku yang membahas tentang dampak besar membaca buku. 

Jadi, orang tuanya memiliki kebiasaan unik yaitu pencarian harta karun di rumah. Harta karun itu diberikan saat sabtu atau minggu untuk anak-anaknya. Tentunya harta karun tersebut adalah versi mereka agar menarik untuk sang anak. Dapat berubah tiket ke wisata, dapat berubah buku mewarnai, novel, atau mungkin makanan kesukaan. Menarik kan ?

3. Saling berkontribusi

Mari kita semua saling berkontribusi untuk menjauhkan Indonesia dari kehancurannya. Mari kita kembalikan bibit-bibit unggul Indonesia ke arah yang lebih baik. Mari tebarkan segala hal yang positif di sekitar kita. Jika pembaca berprofesi menjadi guru, lakukan pekerjaan itu dengan sungguh-sungguh. Menciptakan inovasi pembelajaran, menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, berusaha melakukan pembiasaan yang positif untuk peserta didiknya, lakukan segala hal yang bisa anda lakukan selagi itu baik. 

Jika pembaca menjadi ibu rumah tangga, lakukan pekerjaan mulia itu dengan sebaik-baiknya. Menemani anak belajar, menasehati dengan kelembutan, membiasakan mereka dengan hal positif, dan segala hal yang berdampak positif bagi anak. Bahkan jika pembaca masih belum memiliki pekerjaan, maka lakukanlah perubahan mulai sekarang. 

Berubahlah untuk tidak bermalas-malasan, berubahlah untuk memberikan manfaat bagi sesama, berubahlah untuk menciptakan lingkungan yang positif, memberikan dampak yang mengesankan bagi sekitar anda. Apapun pekerjaan anda wahai pembaca, ingatlah bahwa kita memiliki tanggung jawab yang sama yaitu menyelamatkan Indonesia dan peduli terhadap sekitar. Mari saling berkontribusi, mari saling peduli.

Sekian coretan singkat dari penulis. Jangan biarkan anak-anak bangsa dihancurkan oleh jamannya. Mari kita saling bekerjasama untuk membentuk karakter mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya. Semoga bermanfaat, Salam Literasi ! Mari saling peduli !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun