Mohon tunggu...
Novia Kartika
Novia Kartika Mohon Tunggu... Freelancer - Stay Healty and Positive

Halo, saya Novia seorang mental health enthusiast, saya hobi menulis seputaran gaya hidup, kesehatan mental, kritikan sosial dan pendidikan. Visi saya adalah mengedukasi dan memberi pengetahuan pada oranglain mengenai hal-hal yang mungkin tidak bisa didapatkannya secara bebas. Saya adalah orang yang teoritis (sebagian besar orang berkata seperti itu haha) jadi jikalau mungkin artikel saya terkesan bertele-tele mohon maaf sekali, namun saya sangat terbuka dengan kritikan dan sarannya. Salam kenal

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dilema Pendidikan Seks di Antara Risiko "Dua Garis Biru"

27 Juli 2019   18:08 Diperbarui: 27 Juli 2019   18:12 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.japantimes.co.jp

Penayangan sebuah film yang lain daripada yang lain, mengejutkan khalayak Indonesia di bulan Juli tahun 2019 ini. Disutradarai dan ditulis oleh Ginantri S. Noer, film "Dua Garis Biru" berhasil mencatatkan sejarahnya tersendiri untuk film yang cukup menuai kontroversinya di tahun ini. Tidak hanya banjir pujian setelah penayangannya, film Ginantri ini juga mengalami pemboikotan dimana-mana. 

Berbeda dari film romansa remaja pada umumnya, Ginantri cukup berani untuk mengangkat konflik sosial yang sensitif di telinga masyarakat saat ini, yakni isu seksualisme dan kehamilan dini remaja.

"Jangan loloskan film yang menjerumuskan ini". Sebuah judul yang tertulis dalam petisi boikot film "Dua Garis Biru" di platform petisi online terkenal. Urusan seks remaja memang masih se-tabu ini untuk sekadar dibicarakan antar orangtua. 

Film "Dua Garis Biru" hanya satu diantara banyak sarana edukasi seks remaja anak yang secara keras ditentang oleh orangtua di Indonesia. Gerakan boikot buku "Aku berani mengendalikan diri" di tahun 2017 mengalami hal yang sama, meskipun isinya memang menuai pro dan kontra diantara para ahli, namun sebenarnya buku ini memberikan materi yang bagus mengenai otoritas tubuh anak.

Pada dasarnya orangtua merasa takut kalau anaknya mencontoh dan menirukan perilaku yang senonoh dari tayangan tersebut. Alasan ini tentu cukup berdasar, namun ibarat kata semakin ditutupi semakin penasaran, anak-anak dan remaja pun juga demikian. Perlu diketahui, pendidikan seks yang tepat tidak semerta-merta hanya diajarkan melalui pelajaran biologi mengenal organ tubuh reproduksi saja. 

Pendidikan seks jauh lebih luas daripada itu. Pendidikan seks juga mencakup tubuh adalah otoritas pribadi yang tidak boleh orang lain menyentuhnya, hingga resiko yang harus ditanggung remaja setelah melakukan perilaku seksual tersebut.

Dari mana lagi remaja mengetahui edukasi seks selain sekolah jika tidak dari orangtuanya? Remaja adalah tahapan perkembangan yang "meledak-ledak". Ungkapan ini merujuk pada perubahan hormonal yang wajar dialami di usia ini, mereka adalah usia yang mudah penasaran pada berbagai hal. Jika orangtua menolak membicarakan pendidikan seks di rumah maka resikonya remaja akan mencari pengetahuannya sendiri melalui tontonan di Internet. 

Pengetahuan ini tentu tidak ada filternya, yang mereka cari bisa saja merupakan hal yang memuaskan mereka semata.  Mereka renta untuk mencobanya sendiri dengan sembarang orang, karena rasa penasarannya telah jauh mengalahkan pikiran tentang resiko yang harus ditanggung setelahnya.

Padahal resiko kehamilan dini yang mengintai remaja bukan main-main lagi, film "Dua garis biru" yang banyak diboikot tadi mampu membahas sudut pandang ini secara epic. Umumnya ketika sudah kejadian dan pihak perempuan hamil, solusi satu-satunya adalah menikahkan keduanya di usia remaja dan salah satu (atau dua pihak) yang terlibat harus berhenti bersekolah. 

Resiko pernikahan yang harus dijalani remaja ini tentu sangat berat, keadaan psikis mereka sebenarnya tidak pernah siap mengemban tugas sebagai orangtua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun