Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ingatan Hidimbi

12 Mei 2015   21:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:07 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393310707354866437

Aku dan Arjuna sudah saling mengenal sejak kami duduk di bangku sekolah dasar kelas satu. Saat itu ayahku yang bekerja sebagai seorang dosen di Rembang, mendapat tawaran di salah satu Universitas terkemuka di kota Solo.

Arjuna kecil bukanlah sosok yang begitu menyenangkan, karena yang kuingat awalperjumpaan kami tidak diawali dengan baik. Yang kuingat, Arjuna kerap mengolok-olokku. “Hidimbi, kerempeng. Hidimbi, tiang listrik” Dan aku, selalu menangis gemas karena olok-oloknya itu. Dalam hati aku berkata “Suatu hari kau akan kubuat menangis”

Walau Arjuna kecil sangat tidak menyenangkan, namun ada satu kisah kebaikan darinya, untukku.

Sore itu, sepulang les menari, aku mendapati pintu rumah dalam keadaan terkunci karena Bapak dan Ibu terlambat pulang karena Bapak menghadiri pernikahan salah satu mahasiswinya.

Aku menangis. Aku takut. Ya, aku memang seorang penakut. Walau namaku Hidimbi, namun aku tidak seseram namaku. Yang konon adalah seorang raksasa dari kerajaan Pringgadani,dan merupakan istri tertua dari Bima, kakaknya Arjuna.

Aku masih menangis tersedu-sedu ketika ibunya Arjuna datang menghampiriku. “Nduk, cah ayu jangan nangis ya. Nanti jadi raksasa loo” katanya sambil mengelus lembut rambutku. Aku pun terdiam, pikirku daripada aku menjadi raksasa lebih baik aku berhenti menangis.

“Kenapa Ibu lama sekali, Bude ?!” tanyaku dengan suara parau dibarengi ingus yang keluar dari hidungku.

“Ga lama kok, sebentar lagi pasti pulang. Kamu ikut ke rumah bude yuk, sambil menunggu Bapak Ibu pulang, kamu bisa menonton televisi bareng Arjuna” saran ibunya Arjuna sembari merengkuhku dalam gendongannya. Aku sedikit berontak ketika ibunya Arjuna mencoba mengendongku, aku malu, merasa sudah besar. Kuputuskan saja untuk mengekor dibelakangnya.

Aku mendapati Arjuna tengah menonton serial kartun kesayangannya. “Arjuna, temani Hidimbi ya !”pesan ibunya pada Arjuna.

Sejak kejadian sore itu, kami, aku dan Arjuna menjadi begitu akrab. Mungkin karena kami sama-sama terlahir sebagai anak tunggal, sehingga tanpa kami sadari kami menjadi saling membutuhkan.

***

“Ini es krim punyaku, kan?!” Arjuna merebut es krim rasa vanila yang sedang aku nikmati. Seperti biasa aku hanya bisa menjerit lalu kemudian menangis. Walau usia kami sudah memasuki 17 tahun namun Arjuna selalu saja tak berhenti menggodaku. Dan aku, sama seperti saat masih kecil. Hanya bisa menangis. Aku gemas pada sikapnya Arjuna yang terkadang seperti mengintimidasiku.

Sepertinya dalam agenda hariannya Arjuna harus selalu membuat aku berteriak ataumenangis setiap hari.

Tidak ada yang bisa menghentikan sikapnya yang menurutku norak. Tidak ibuku, tidak juga ibunya. Bahkan ibu kami sepertinya sudah menganggap biasa hal ini.

Akan terlihat aneh, jika dalam satu hari aku tidak berteriak, berlari-lari mengejar Arjuna karena gemas atau menangisi sesuatu karena ulah Arjuna.

Tapi yang aku tidak habis pikir, mulai Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas. Aku selalu ingin satu sekolah dengan Arjuna. Bahkan saat penjurusan di Sekolah Menengah Atas, aku lebih memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Padahal dengan nilai di atas rata-rata, sebenarnya aku punya peluang untuk masuk ke jurusan MIPA, jurusan yang terkenal lebih keren daripada IPS.

Arjuna tertawa terpingkal-pingkal saat mengetahui bahwa ternyata aku memilih satu jurusan dengannya.

Melihat Arjuna tertawa seperti itu membuat bibirku mengerucut, dan “Bug” aku melemparnya dengan kamus Bahasa Inggris setebal 478 halaman, yang melayang tepat di pundaknya. “Auuwww..sakit tahuuu!!!” katanya sambil mengelus pundaknya. “Masih untung tak kulempar kau dengan sepatu ini” kataku sambil menunjuk ujung sepatu kets ku. Mataku melotot. Tapi dasar Arjuna, bukannya mengalah, dia malah semakin berreaksi, tertawanya makin terpingkal-pingkal melihat ekspresi judesku. “Ga cocok ah kalau kamu judes” timpalnya sambil berlari meninggalkanku di ruang perpustakaan.

Sama seperti keherananku yang memilih jurusan IPS, saat Sekolah Menengah Atas, aku pun rasanya seperti terkungkung pada labirin pesona Arjuna. Milyaran manusia di dunia ini tak terlihat di pelupuk mataku. Hanya Arjuna sajalah yang terlihat. Pagi, siang, malam hingga ke pagi lagi.

Saat itu kami adalah sepasang remaja yang tak terpisahkan. Tapi kami bukan siapa-siapa antara satu dengan yang lainnya.

***

Jomblo. Itulah yang olok-olok yang makin sering kudengar ketika usiaku memasuki 19 tahun. Di usia inilah aku mulai berani melancarkan serangan balik pada Arjuna. Saat dia mengolok-olokku dengan sebutan “Jomblo ga laku” akupun akan membalasnya dengan sebutan”Mas Juna juga belum laku-laku”

Mas. Seharusnya sejak awal mengenalnya panggilan “Mas” ini sudah kusematkan saat memanggilnya, karena Arjuna lebih tua 5 bulan dari ku. Namun, sebutan ini baru ku sematkan setelah aku dan Arjuna berada di bangku kelas kelas 3 SMA.

Kebersamaan yang begitu rekat, tanpa aku sadari sudah menumbuhkan rasa candu di hatiku yang paling dalam. Ada rasa rindu, cemburu, amarah. Dan rasa yang aku tidak tahu namanya apa.

Sosok Arjuna yang awalnya ku anggap sebagai kakak lelakiku, akhir-akhir ini sering ku anggap sebagai lelaki idamanku. Sikapnya yang usil mendadak menjadi sikap yang ingin ku rindukan.

Tapi, jika aku ingat kembali siang itu. Ah, aku tak ingin mengingatnya.

Akhirnya milyaran detik kebersamaan kami, ada kenyataan yang harus aku terima bahwa di dunia ini tidak semua hal harus diceritakan. Walau kepada seseorang terdekat sekalipun.

***

“Bude, Mas Juna ada?” tanyaku pada ibunya Arjuna yang tengah menggoreng tempe. “Ga ada, Nduk. Katanya mau mengembalikan buku ke rumah temannya” Jawabnya tanpa menoleh padaku.

“Aku mau ambil buku catatan nich, Bude” kataku sambil mencomot sepotong tempe goreng yang sudah matang dengan tangan kiri. “Hush, pake tangan yang bener.” Ibunya Arjuna memukul lembut tanganku, “ambil aja dalam kamarnya” katanya.

Aku dan Arjuna mempunyai keleluasaan untuk saling masuk ke kamar masing-masing. Orangtua kami berdua begitu mempercayai bahwa hubungan kami bukanlah hubungan sepasang kekasih, melainkan hubungan yang terjalin seperti kakak dengan adiknya.

Aku mematikan kipas angin yang menyala dengan kecepatan penuh “Kebiasaan buruk, kamar ga ada penghuninya tapi kipasnya dinyalain”

Aku langsung menuju meja belajarnya. Yang berhadapan dengan jendela kamarku. Aku membolak balik buku-buku yang berserakan di mejanya.

Laptopnya masih dalam keadaan menyala. Ah tak penting, pikirku. Akupun terus mencari buku catatan yang kumaksud.

“Tring”

“Tring”

“Tring”

Dan “Tring”..lagi..dan lagi.

Notifikasi sebuah pesan masuk di kotak Yahoo Messenger. Aku tak begitu peduli, bagiku pesan yang masuk bukanlah urusanku. Namun ritme notifikasi yang berulang-ulang mulai membangkitkan rasa penasaranku. Aku pun mengambil posisi duduk tepat di hadapan laptopnya.

Aku membaca pesan Yahoo Messengernya.

Dela : Juna, aku kangen kamu. Pesan ku kok belum dibalas. Apakah kamu bersama Hidimbi dan terlalu sibuk bersamanya ?

Dela : Oh iya, kamu harus segera bilang pada Hidimbi bahwa kamu sudah punya calon pacar, aku

Dela : Juna

Dela : Nanti malam jangan lupa ya, telp aku lagi. Kita ngobrol ampe subuh lagi. Kan besok hari minggu

Dela : Junaaaaaaaa...lama L balasnya

Dela : Buzz

Dela : Buzz

Duh, Mas Juna. Batinku rasanya limbung. Aku lupakan tentang buku catatanku. Tetapi bagaimana caranya melupakan rasa sukaku pada Arjuna.

Akhirnya perasaanku terserabut. Arjuna adalah kakakku. Dia tidak pantas menjadi lelakiku. Dia pembohong. Dan cerita ini cukup aku saja yang tahu. Biarlah aku tidak tahu “perselingkuhannya” dengan Dela. Sosok yang sama sekali belum pernah aku jumpai bahkan mendengar namanya pun belum.

***

Aku tak merengek saat Arjuna akhirnya memilih untuk melanjutkan kuliah di kota Pahlawan, walau beberapa hari sebelum keberangkatannya aku sempat murung, sangat murung sekali. Sementara aku tetap memilih kuliah di Solo. Dan mulai menata kehidupan baruku. Sejak kejadian pesan di Yahoo Messenger itu, aku berusaha bersikap biasa saja. Bagiku lebih baik membebaskan rasaku daripada harus terkungkung oleh rasa yang membabi buta, padahal mata kepalaku sendiri sudah melihat telikung yang dilakukan Arjuna.

Tak terasa waktu berlari begitu cepat, komunikasiku dengan Arjuna mulai menurun intensitasnya. Mungkin masing-masing dari kami sangat disibukkan dengan aktivitas kampus dan pribadi. Dan saat memasuki semester 5 aku mengenal seorang pria, teman satu fakultasku. Bima, namanya, sosok pria dengan badan tinggi tegap dan paras yang sangat jawa sekali. Singkat cerita, kehadirannya bisa membantuku menyisihkan rasa dikhianati oleh Arjuna. Rasa yang sengaja aku simpan diam-diam, rasa yang tak pernah ingin meminta penjelasan dari Arjuna, siapa sosok Dela sebenarnya. Mengapa Arjuna tetap mengaku jomblo padaku, bersikap seolah-olah belum ingin pacaran, tapi ternyata...ah sudahlah.

Hubunganku dengan Bima mendapat dukungan dari orangtuaku, juga orangtuanya Arjuna. Bahkan Arjuna pun memberiku ucapan selamat yang super meriah ketika aku katakan bahwa aku sudah mempunyai Bima.

Namun, sejak saat itu sikap Arjuna terkesan menjaga jarak denganku. “Mas, kok jarang pulang sekarang” tanyaku “Aku sibuk, Nduk. Gileee yaa kuliah di Antropologi bikin ndas pecah’ jawabnya santai “Kalau ga mau mumet ya kawin aja, enak” kelakarku menanggapi ucapannya.

Menjelang akhir semester tujuh Bima mengajakku untuk bertunangan. Dan lagi-lagi hal ini pun didukung oleh orangtuaku, juga orangtuanya Arjuna.

***

Suasana malam itu makin meriah, aroma bunga melati bercampur mawar menyebar ke seluruh ruangan. Nampak kerabatku dan kerabatnya Bima berbaur menjadi satu. Pertunanganku dengan Bima berjalan lancar, dan kami dibanjiri ucapan selamat tentunya dengan dibarengi pertanyaan “Jadi, kapan nikahnya ?”.

Diantara kerumunan tamu undangan, sudut mataku mencari-cari sosok Arjuna. Aku hanya melihatnya saat awal acara saja, ketika Bima menyelipkan cincin tanda pertunangan di jari manis sebelah kiriku. Mata Arjuna menatap lekat padaku, dan aku menangkap ada yang tidak beres dari tatapannya itu. “Setelah acara, aku akan bertanya padanya, adaapa” kataku dalam dalam hati.

Karena malam semakin dingin dan larut, satu persatu tamu undangan dan kerabat mulai meninggalkan rumah. Yang tersisa adalah beberapa orang kerabat serta tetangga, mereka membantu membereskan sisa-sisa kotoran dan pernak pernik lainnya.

Keluarga Bima pun berpamitan.

Aku masuk dalam kamar, dan dari balik jendelaku. Kulihat tirai penutup kamar Arjuna tertutup rapat. Bahkan tak ada sedikitpun cahaya di sana. “Mas, kamu kenapa” batinku menjerit merasa trenyuh teringat tatapannya Arjuna.

Malam itu, aku tertidur dengan beberapa bulir airmata di pipi.

***

Tiga hari sesudah pesta pertunanganku Arjuna kembali ke Surabaya tanpa berpamitan padaku. Dari cerita Bude, Arjuna memilih naik bus daripada naik kereta. Katanya biar bisa ngeliatin jalan pelan-pelan, kalau pakai kereta terlalu cepat sampai.

Aku sedikit memaksakan senyum. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu, namun bagaimana caranya. “Pantaskan aku bertanya pada Bude soal ini ?” tanyaku pada diri sendiri.

Tanpa meminta ijin dari ibunya, aku masuk ke kamarnya Arjuna. Dekorasi ruangan ini masih sama dengan 15 tahun yang lalu. Penghuninya pun masih sama. Yang berbeda adalah perasaan kami masing-masing.

Aku memeluk guling kumal yang biasa di pakai Arjuna tidur,danterisak-isak menangis.

“Mas Juna, andai kau tak membohongiku waktu itu, andai aku tak merasa kau ‘selingkuhi’ “ gumamku. Isakku makin menjadi.

Sementara tanpa aku sadari, dari balik pintu, ibunya Arjuna berdiri mematung dengan wajah tak kalah sedih. Beberapa kali tangan kanannya mengelus dadanya sendiri.

***

Oil City, 12 May 15

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun