Mohon tunggu...
Novi Ardiani (Opi)
Novi Ardiani (Opi) Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak yang senang menulis. Mantan dosen dan wartawan yang sekarang bekerja sebagai karyawati BUMN di Jakarta. Ngeblog di www.opiardiani.com. IG @opiardiani. Email: opiardiani@gmail.com.

Ibu dua anak yang senang menulis. Mantan dosen dan wartawan yang sekarang bekerja sebagai karyawati BUMN di Jakarta. Ngeblog di www.opiardiani.com. IG @opiardiani. Email: opiardiani@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

8 Kegiatan yang Akan Alihkan Perhatian Anak dari "Gadget"

20 Juni 2017   12:59 Diperbarui: 21 Juni 2017   06:13 9488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teknologi bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi ketajamannya mampu memberikan kemudahan dan solusi dalam hidup. Di sisi lain, tangan dapat terluka dan berdarah jika tidak berhati-hati ketika menggunakannya. Itulah yang terjadi ketika gadget sebagai wujud nyata dari hasil perkembangan teknologi berada di tangan para bocah di bawah umur. Tanpa pengawasan yang bijak dari orang tua, bocah yang terpajan gadget tanpa jeda akan menjelma menjadi makhluk modern yang miskin kreativitas.

Miskin kretivitas? Mungkin kedengarannya terlalu menghakimi. Tapi, saya merasakan betapa menjemukan anak-anak ketika mereka sudah jatuh cinta pada gadget dan seperangkat aplikasinya. Persis seperti orang dewasa yang tidak bisa lepas dari smartphone-nya. Seolah tidak ada yang lebih menarik di dunia ini untuk dilakukan kecuali menatap layar digital itu. Mereka, bocah yang semula aktif berkreasi dengan corat-coret warna-warni di tembok dan bahkan di wajah, ramai berteriak dan berceloteh lucu, tiba-tiba jadi makhluk diam yang terus diam selama gadget itu di genggaman tangannya!

Kurangi gadget, ajak anak-anak beraktivitas penuh kreativitas. Foto: Novi 2017
Kurangi gadget, ajak anak-anak beraktivitas penuh kreativitas. Foto: Novi 2017
Ibu dan Ayah Harus Terlibat!

Baiklah, saya akan jujur kepada Anda sekalian bahwa kekhawatiran saya sebagai ibu ketika menyaksikan anak-anak seperti itu terus memuncak. Hati nurani saya mengatakan, harus ada cara yang bijak untuk mengalihkan mereka dari layar digital itu. Saya tidak mengatakan bahwa mereka harus steril sama sekali dari gadget. Tetapi, secara proporsional waktu anak-anak selayaknya diarahkan untuk lebih banyak menghadapi latihan tantangan-tantangan nyata dan bukan maya. Bolehlah mereka main gadget, tetapi tidak sepanjang hari dan tidak selama berjam-jam. Apakah Anda sepakat dengan Saya?

Saya lalu memikirkan cara-cara mengalihkan anak-anak dari gadget, dengan pertimbangan cara itu tidak egois namun bijak. Maksudnya, tidak sepihak dari sudut pandang orang tua. Harus ada cara yang cukup manusiawi bagi anak dan bisa mendorong anak-anak untuk lebih aktif secara fisik dan mental. Cara yang membuat mereka nyaman tapi tidak ketinggalan kemajuan zaman. Cara yang dinamis dan terarah untuk menghadapi dunia ke depan. Saya memikirkan cara yang elegan dan proporsional. Seimbang. Harmoni. Bisakah?

Saya lalu memulainya dengan bertanya kepada anak yang sulung, hal apa yang paling dia inginkan dan paling asyik selain main gadget? Ibu kepo ingin tahu banget apa yang nomor dua paling menarik bagi bocah seandainya nomor satunya adalah main gadget. Saya punya target untuk menggeser nomor dua ke nomor satu, supaya main gadget tak lagi jadi yang paling menarik. Tahukah apa jawaban si sulung? "Melakukan aktivitas apa pun bersama Ibu atau Ayah." Ini jawabannya ketika masih berusia 7 tahun. Hal yang sama saya tanyakan kepada adiknya (ketika itu usia 4 tahun). Jawabannya serupa. Wow. Challenging answer for every parent. Saya sangat menyarankan kepada Anda jika ingin mencari cara pengalihan gadget yang ampuh, tanyakanlah dulu hal yang sama kepada anak-anak Anda. Hmmm, saya pun jadi penasaran apa jawaban anak-anak Anda!

Menantang? Ya! Saya harus memikirkan cara pengalihan yang juga ternyata akan melibatkan diri secara penuh sebagai ibu. Sekaligus, mengomunikasikan penemuan ini dengan kepala keluarga. Selama setahun saya kemudian mempraktikkan berbagai cara yang menurut saya dapat menjadi alternatif untuk mengalihkan mereka dari gadget, sekaligus memenuhi kebutuhan mereka untuk lebih banyak melakukan aktivitas bersama ibu dan ayah. Terus terang, dan jujur.... ini sama sekali tidak mudah. Saya berangkat ke kantor sekitar pukul 5. 40 WIB, ketika anak yang sulung sedang bersiap-siap berangkat sekolah. Dan baru tiba di rumah sekitar maghrib, kadang lewat Isya jika ada tambahan kegiatan atau pekerjaan yang belum selesai. Waktu yang bisa dimanfaatkan sekitar 3 jam di malam hari pada hari kerja, yaitu selepas maghrib hingga menjelang tidur malam. Selebihnya, waktu di akhir pekan adalah yang sangat dapat diandalkan.

Mulai Terlibat dan Lupakan Ribet!

Jika memikirkan antara kebutuhan kebersamaan dan waktu yang ada, pertama-tama saya menyerah. Angkat tangan. Kok sepertinya nggak mungkin ya dengan sisa waktu dan tenaga yang ada bisa membuat momen kebersamaan yang keren dengan anak-anak di hari kerja. Hmmm, tapi kalau ibu mudah menyerah, bagaimana nanti anak-anaknya? Bisa dipastikan anak-anaknya juga cepat menyerah pada keadaan. Baiklah, saya berusaha untuk realistis, tetapi juga tetap optimis. 

Saya lalu berdiskusi dengan anak yang sulung untuk menyepakati waktu bermain gadget. Tahun lalu usianya tujuh tahun dan sudah bisa diajak berdiskusi. Mulanya, dia keberatan ketika saya mengusulkan waktu main gadget adalah di hari Sabtu dan Minggu bersama-sama Ibu atau Ayah. Di hari Senin sampai Jumat fokus ke kegiatan sekolah dan main yang lain. "Anak-anak lain kok boleh main gadget pulang sekolah.... kenapa aku nggak boleh?" protesnya. Saya lalu menjelaskan kepadanya bahwa untuk anak usia Sekolah Dasar adalah tanggung jawab orang tuanya untuk mendampingi sang anak berinteraksi dengan gadget supaya bisa bermanfaat dan tidak salah arah. Dia sempat cemberut lama sebelum akhirnya sepakat dengan usulan ibunya. 

Kesepakatan itu kami tuliskan di kertas, ditempel di tablet yang bisa dipakainya main game. Lalu kami berdua menandatanganinya. Pada hari Senin sampai Jumat, tablet itu disimpan Ibu. Baru pada akhir pekan tablet boleh dimainkan. Kami sepakat bahwa main tablet harus dijeda setelah satu jam supaya mata tetap sehat. Selain itu, kami juga sepakat bahwa gadget tidak dimainkan saat berada di kendaraan atau di tempat umum. "Bu, kalau weekend kita jalan-jalan keluar kan jatah main tablet aku jadi berkurang.... Boleh nggak kalau Jumat malam pas Ibu sudah pulang kerja aku main game sebentar sambil nunggu Ibu selesai mandi dan makan. Setelah itu aku main sama Ibu?" tanya si sulung. Saya setuju. Menurut saya, permintaannya masih dalam batas toleransi. "Satu lagi, Bu, Ibu juga nggak boleh main handphone terus ya...," ujarnya. Saya tersenyum dan merasa diingatkan. "Janji!" kata saya sambil mengangkat tangan. Sebenarnya, yang dibutuhkan anak-anak adalah perhatian yang wajar dan komunikasi yang sehat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun