Mohon tunggu...
Novi Ardiani (Opi)
Novi Ardiani (Opi) Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak yang senang menulis. Mantan dosen dan wartawan yang sekarang bekerja sebagai karyawati BUMN di Jakarta. Ngeblog di www.opiardiani.com. IG @opiardiani. Email: opiardiani@gmail.com.

Ibu dua anak yang senang menulis. Mantan dosen dan wartawan yang sekarang bekerja sebagai karyawati BUMN di Jakarta. Ngeblog di www.opiardiani.com. IG @opiardiani. Email: opiardiani@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Manajemen Waktu untuk Atasi Emosi Buntu

9 September 2016   15:30 Diperbarui: 9 September 2016   22:13 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Apa hubungannya mengatur waktu yang kita punya dengan mengatasi masalah-masalah akibat emosi yang buntu tak tersalurkan? Ada. Bahkan sangat erat serta mendasar. Berbagai kondisi berbatas ruang, jarak dan waktu dalam kepadatan aktivitas sehari-hari sering menyebabkan adanya saluran komunikasi yang salah arah, buntu, atau tertahan. Itu bisa terjadi antara ibu dengan ayah, ibu dengan anak, ayah dengan anak, atau anak yang satu dengan anak yang lain dalam satu keluarga. Akibatnya akan ada emosi yang tertahan, tak tersampaikan, tersimpan sebagai beban. Jika emosi yang tertahan itu dibiarkan, tidak menemui saluran komunikasi dan release yang tepat, maka akan menjadi pangkal dari banyak masalah dalam sebuah keluarga. 

Saya mengamati, masing-masing dari kita sebagai individu mempunyai kebutuhan untuk menyampaikan emosi melalui berbagai saluran. Tampaknya ini sebuah kebutuhan yang mungkin berbeda-beda kadarnya untuk setiap orang dengan karakter yang berbeda. Namun, pada dasarnya, kebutuhan itu ada. Kecenderungannya, seorang ibu mungkin lebih banyak membutuhkan saluran verbal untuk menyampaikan emosinya, baik emosi positif maupun negatif. Perasaan senang, haru, sedih, ataupun kecewa hampir selalu harus dikeluarkan dengan kata-kata meski tidak selalu demikian. Namun, saya melihat ada kecenderungan. Bicara dan didengar, menjadi hal penting bagi ibu. Lihatlah begitu bahagianya ibu jika mereka berkumpul dengan ibu lainnya dalam sebuah arisan.  

Di sisi lain, bukan berarti ayah tidak butuh bicara dan didengar. Hanya saja, kelihatannya ayah cenderung lebih irit dengan urusan verbal. Seorang ayah mungkin tidak banyak bicara setiap waktu seperti ibu. Tetapi sekali ayah bicara, kata-katanya begitu dalam dan bermakna. Kata-kata ayah yang singkat dan jarang itu justru yang sering melekat di benak anak-anak hingga mereka dewasa.  Ayah sebagai kepala keluarga sering menempatkan diri sebagai pemimpin yang tidak ingin tampak lemah. Ayah cenderung lebih pandai menyembunyikan rasa khawatir, takut, dan sedih. Ayah mungkin tidak mudah marah atau ngambek seperti ibu apabila ada hal-hal yang tak berkenan. Namun, ayah tetap seorang manusia yang butuh menyalurkan emosinya.

Bagaimana dengan anak-anak? Mereka cukup unik. Anak-anak usia balita secara umum belum mampu mengungkapkan perasaannya seperti kita orang dewasa. Mereka kadang bisa langsung kesal dan marah lalu menangis atau menendang-nendang apabila keinginannya tidak dipenuhi. Suasana hati anak sangat dipengaruhi oleh cukup atau kurangnya perhatian orang tua.  

Anak-anak yang jarang dipeluk orang tuanya, jarang melakukan kegiatan yang sifatnya kebersamaan fisik serta emosi dengan ayah-ibunya, juga akan lebih mudah kesal dan marah. Tidak percaya? Saya sudah membuktikannya. Tiga kali berturut-turut pulang kerja terlambat, akan membuat anak laki-laki saya yang sulung (usia tujuh tahun) ngambek. Adiknya, yang perempuan usia 4,5 tahun juga ngambek. Ngambeknya berbeda. Kakaknya sudah bisa berbicara di telepon bahwa dia kesal kalau ibu pulang terlambat, karena sudah ingin bertemu ibu dan berkegiatan bersama. Sementara adiknya, melempar-lempar buku atau menendang-nendang apa saja yang ada di dekatnya. 

Jelas, baik ibu, ayah, dan anak-anak punya kebutuhan untuk menyalurkan perasaan dengan enak dan nyaman. Ada kebutuhan “emotion release”. Nah, kadangkala emosi itu tidak dapat tersalurkan dengan baik karena waktu pun tak bertemu, dan ruang kadung terpisah. Karena itu, penting untuk secara rutin kita mengatur waktu supaya emosi-emosi yang tertahan dan belum menemui salurannya bisa release dengan baik. Juga supaya tidak memicu munculnya masalah-masalah baru. Jika emosi sudah di jalan buntu, biasanya akan memengaruhi aktivitas lainnya. Bekerja jadi terganggu, belajar jadi kurang konsentrasi dan motivasi, bermain pun jadi kurang asyik. Efeknya bisa seperti bola salju.    

Solusi pengaturan waktu untuk emosi buntu adalah dengan menyeimbangkan waktu untuk empat kebutuhan. Sebaiknya dibagi secara proporsional waktu untuk semua (family time), waktu khusus berdua antara satu orang tua dengan satu anak (time alone), waktu bersama pasangan (couple time), dan waktu sendiri (me time). Pembagian waktu ini saya pelajari setelah menyimak pemaparan seorang Psikolog Anak dan Remaja Vera Itabiliana Hadiwidjojo dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia. Beliau menjadi narasumber dalam Talkshow di kantor tempat saya bekerja bertajuk “Be The Best You As Working Mom”, tahun lalu (2015). Kebetulan, Saya bertugas sebagai pembawa acaranya. Kenapa saya baru menuliskannya sekarang? Karena saya butuh waktu setahun untuk membuktikan bahwa apa yang disarankan Ibu Vera memang betul membantu untuk release emosi. 

Bagaimana pembagian keempat waktu ini bisa membantu menangani masalah akibat emosi buntu? Yuk kita simak satu per satu.

Family Time (Waktu untuk Semua)

Waktu untuk semua anggota keluarga bersama-sama berkumpul, melakukan aktivitas menyenangkan bersama, kita sebut family time. Pada waktu ini, seluruh anggota keluarga dapat mencurahkan kasih sayang dan perasaan dengan sukacita. Pada waktu ini, emosi-emosi kecil yang tertahan bisa release dengan mudah. Kebahagiaan berkumpul bersama, merajut kedekatan fisik dan emosi dalam sebuah keluarga, dapat mengeliminasi sekadar kesal di tempat kerja, di jalan, atau di sekolah. Family time mampu mengobati kerinduan untuk eksis sebagai satu keluarga yang utuh. 

Family time yang berkualitas, tidak terdistraksi oleh gadget dan layar digital, diyakini mampu betul-betul memperbaiki hubungan yang merenggang antara anggota keluarga akibat kepadatan aktivitas. Family time yang berkualitas tidak harus pergi berlibur ke tempat yang bagus dan jauh. Di mana pun dan kapan pun, asalkan pada waktu itu seluruh anggota keluarga dapat berkumpul, melakukan aktivitas yang menyenangkan bersama-sama- entah sekedar berenang atau memasak bersama- , itulah saat yang pas untuk membangun jembatan emosi.

Kedekatan emosi antar anggota keluarga tidak dibangun dengan sekali family time. Tetapi, dengan family time yang rutin dan cukup, serta berkualitas. Bagi keluarga yang bisa melaksanakan sholat Subuh berjamaah setiap harinya, itu bisa menjadi family time yang sangat jitu sekaligus booster mood pagi hari.     

Time Alone (Waktu khusus berdua antara satu orang tua dengan satu anak)

Anak-anak, seperti saya kemukakan di atas, punya keunikan. Mereka tidak dapat mengungkapkan perasaannya semudah orang dewasa. Diperlukan kondisi khusus untuk dapat mengorek apa yang mereka rasakan, emosi-emosi apa yang tidak tersalurkan, dan komunikasi seperti apa yang mereka harapkan dalam membahas hal-hal khusus tentang mereka. 

Saya pernah heran, ketika anak bungsu saya yang ketika itu masih sekolah di play group tiba-tiba tidak mau ke sekolah. Saya tidak berhasil mencari tahu sebabnya walaupun saya berusaha memeluknya dan berbicara dengan sangat hati-hati. Justru, sebab-musababnya si bungsu tak mau ke sekolah terkuak pada waktu dia sedang berdua saja dengan ayahnya, tidak ada saya, tidak ada kakaknya. Kepada ayahnya, si bungsu akhirnya mengaku sering dicubit temannya di sekolah, yang ternyata adalah anak dari bu guru, yang bersekolah di tempat yang sama. Dia tak suka dicubit. Dan akhirnya tidak mau ke sekolah. Berdasarkan ini, kami lalu merujuk ke pihak sekolah untuk mencari solusi.

Pernah pula saya memperhatikan anak sulung tiba-tiba murung dan tidak bersemangat. Kami orang tuanya tidak berhasil mengetahui sebabnya. Sampai akhirnya ketika saya ajak si sulung pergi makan es krim ke kedai berdua saja. Terkuaklah bahwa si kakak merasa sedih karena dia merasa selalu harus mengalah dari adik. Jika mainannya dirusak adik, ia harus mengalah karena adik masih kecil. Jika pensil atau alat sekolahnya diambil sang adik, juga harus mengalah. Si sulung merasa terabaikan. Sebuah pelukan baginya sambil meyakinkan kakak bahwa ibu akan berikan kepercayaan kepada kakak mengajari adik supaya belajar menghargai milik kakak, itu harus.

Dari kejadian-kejadian itu, saya belajar bahwa time alone yang cukup itu sangat penting. Fungsinya untuk menguak emosi-emosi anak yang tidak tersampaikan dalam kondisi normal. Anak butuh suasana yang pas untuk mengomunikasikan kegelisahannya, butuh keyakinan bahwa ada kenyamanan untuk release emosinya. Jika hal ini terabaikan, emosinya akan menumpuk, buntu tak tersalurkan. Jangan kaget kalau anak lalu jadi murung atau sebaliknya jadi marah-marah tak terkontrol. Lebih parah lagi nantinya akan berdampak pada semangatnya untuk sekolah dan berinteraksi dengan teman sebaya. Anak yang tiba-tiba menjadi nakal di sekolah, kemungkinan penyebab utamanya adalah ada emosi yang tidak tersalurkan dan orang tuanya tidak cepat tanggap karena sibuk. 

Jika kita punya dua anak, ayah butuh time alone yang cukup dengan anak pertama dan kedua. Begitu pula ibu, butuh time alone yang cukup dengan anak pertama dan kedua. Tidak harus lama dan jauh. Misalkan ayah pergi bercukur dan belanja perkakas berdua dengan anak laki-laki, ibu ajak anak perempuan memasak menu baru berduaan. Lalu ketika ibu ajak anak laki-laki pergi makan es krim ke kedai, ayah di rumah mengajak anak perempuannya mengutak-atik komputer.

Time alone akan efektif untuk menguak sebab masalah yang tidak muncul dalam suasana biasa. Lakukan komunikasi efektif, dengarkan anak, beri rasa nyaman. Percayalah. Silakan Anda mencobanya. Saya telah mencobanya setahun belakangan ini. 

Couple Time (Waktu Bersama Pasangan)

Seringkali, pasangan menemui kejenuhan karena melulu disibukkan dengan pekerjaan dan urusan mengasuh anak-anak. Ada yang terlupakan. Waktu untuk berdua-duaan sering luput. Padahal ini penting. Sisihkan waktu untuk berdua saja dengan pasangan untuk saling menyamakan frekuensi. 

Couple time tidak harus seperti bulan madu yang mewah. Bisa hanya di halaman belakang rumah ketika anak-anak sudah lelap, sisihkan waktu berdua untuk mengingat apa saja yang luput tersampaikan karena kesibukan. Saling meyakinkan bahwa kalian berdua saling percaya dan menguatkan adalah penting. 

Apabila couple time tidak pernah diupayakan, kemungkinan akan menggerus rasa percaya, mengosongkan love tank, memunculkan rasa terabaikan, dan ujungnya masing-masing mencari sosok lain untuk penerimaan baru. Jika ayah dan ibu masih yakin pentingnya konsolidasi, segera perbaiki couple time.

Me Time (Waktu Sendiri)

Setiap orang butuh waktu yang cukup untuk diri sendiri. Anak-anak sekalipun. Seorang bayi perlu kita beri waktu sendiri saat bangun tidur dengan membiarkannya berguling-guling, memandangi dinding dan meraih bantal atau mainan. Biarkan sesaat bayi mungil itu memiliki waktunya. Istilahnya, untuk memberinya waktu menyelesaikan masalahnya sendiri. 

Anak balita pun demikian. Biarkan sekali waktu anak bermain sendiri tanpa ditemani, tanpa dibantu. Biarkan si kecil asik dengan playdough-nya, membuat bentuk-bentuk aneh yang tidak kita mengerti. Biarkan sekali waktu anak laki-laki kita bereksperimen dengan barang-barang bekas yang dimodifnya menjadi bentuk baru. Biarkan. Mereka butuh me time. Waktu sendiri tanpa ada siapa pun menyela. 

Ibu dan ayah pun demikian. Biarkan sekali waktu membiarkan ibu duduk membaca novel sambil menyeruput teh hangat sendirian di teras belakang rumah. Biarkan sekali waktu membiarkan ayah mengutak-atik mobilnya sampai bosan, jangan ganggu. Me time membuat masing-masing individu berdamai dengan dirinya, dan melakukan konsolidasi internal dengan dirinya sendiri. Itu sehat.    

Jika kurang me time, akibatnya akan ada emosi yang tidak tersalurkan dengan baik. Dampaknya bisa menyasar ke mana-mana. Karena itu, cukupkan me time dan harmonikan diri.

Nah, apabila keempat waktu tersebut  bisa kita seimbangkan, Insha Allah masing-masing anggota keluarga akan mendapatkan saluran yang pas untuk release emosinya.  Ayah dan Ibu punya cukup waktu berdua. Juga, cukup waktu dengan masing-masing anak. Anak yang satu punya cukup waktu dengan anak yang lain.  Masing-masing anggota keluarga punya cukup waktu dengan dirinya sendiri. Di luar itu, masing-masing anggota keluarga juga diupayakan cukup interaksi dengan rekan sebaya dan komunitas di luar rumah seperti dengan para guru, teman-teman sebaya, serta lainnya.

Apabila ada masalah di luar rumah yang membuat anak kesal, ibu dan ayah atau saudara kandung dapat menjadi saluran ketika ada cukup time alone. Begitu juga ketika ada sumbatan komunikasi di hari kerja, family time yang berkualitas dapat menjadi jalan keluar di akhir pekan untuk memperbaiki.

Semua orang di dunia ini punya waktu yang sama. 24 jam sehari. 7 hari sepekan. 52 pekan setahun. Tetapi, tidak semua orang punya kesadaran untuk mengatur waktu yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan fitrahnya manusia. Semoga, kita diberikan kemampuan untuk selalu sadar memperbaiki manajemen waktu untuk kebaikan keluarga kita dari waktu ke waktu. Kita bisa, pasti bisa, and go ahead.....!  Sekarang waktunya. (Opi)

**  Ditulis oleh bukanpsikolog atau pakar parenting, cuma perempuan biasa yang berada dalam taraf berusaha belajar dan bermanfaat untuk diri sendiri-keluarga- dan masyarakat. Bagi yang berkenan dengan tulisan ini, semoga bermanfaat. Bagi yang tidak berkenan, silakan diabaikan saja. Salam pembelajar.....

**Special thanks to Ibu Vera Itabiliana Hadiwidjojo, yang menginspirasi Saya untuk menulis tentang topik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun