Mohon tunggu...
Novelin Silalahi
Novelin Silalahi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Mahasiswa Studi Pascasarjana, Analisis Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Titik Terendah

23 September 2022   00:49 Diperbarui: 23 September 2022   01:04 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada suatu jalan, kita belajar menerima dan mengerti bahwa semua mungkin tak seperti yang kita pikirkan, bahwa semua mungkin tak seperti yang kita bayangkan, bahwa semua mungkin tak seperti yang kita harapkan.

Perjalanan yang membawa kepada sebuah pertandingan, membuat semua seakan menjadi lawan, pengorbanan seakan sia-sia, perjuangan yang begitu hangat menjadi tak berarti, persaudaraan dan persahabatan berubah menjadi sedingin salju. Kasih dan kebaikan yang selama ini ada menjadi seperti permusuhan dan kejahatan.

Sikap diam dimanfaatkan banyak orang untuk menjatuhkannya, keikhlasan diberdayakan banyak orang untuk menceriterakan dirinya dengan banyak cerita yang tak dapat dipertanggungjawabkan, ketulusannya dipakai orang untuk melukai perasaan dan pikirannya, hingga kehilangan orang-orang yang dikasihinya. Tak tahu apalagi yang akan terjadi selanjutnya.

Perenungan panjang di suatu malam, di sudut kota yang jauh di ufuk timur, saat semua pergi, saat dia lelah dan sakit, hingga air mata pun mengalir menyelimuti kekecewaannya. Malam itu dia melihat bintang dan atap seakan mereka akan datang, dalam kekhawatirannya dia menunggu mereka sampai matahari terbit, namun tak kunjung datang, saat dia sadar ternyata benar yang dikatakan orang bahwa dirinya sudah ditinggalkan. Cacian, makian, perkata kasar berdatangan hingga melukai sebuah perasaan, menyakiti pikiran yang lelah. Perkataan yang tidak benar menghampiri dirinya, hingga mematahkan hati yang terjaga, memutuskan komitmen yang selama ini tersimpan baik, dan berakhir sia-sia.

Mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya sakit dan kecewa, mereka tak pernah tahu bagaimana dia harus merelakan semua ukiran cerita yang terajut selama ini menjadi kefanaan yang sia-sia. Mereka tak pernah tahu bagaimana hati memulai kembali setelah sekian lama namun harus melepaskan dan mengikhlaskan kembali, mereka tak pernah tahu sayatan kekecewaan atas pengorbanan yang berakhir begitu saja, mereka tak pernah tahu bagaimana suatu saat semua kesakitan itu akan kembali kepada mereka, dia percaya tabur tuai akan selalu berlaku dalam kehidupan yang menghidupkan ini.

Di titik terendah itu, dia begitu lelah dan kesakitan, saat dia sendiri ditinggalkan, saat dimana dia belajar mengikhlaskan orang yang dia kasihi untuk pergi, dia merasakan dinginnya dunia yang begitu sengit.

Tak bisakah setiap insan berjuang dengan sehat, tak bisakah setiap insan belajar untuk menjadi manusia yang memiliki intelektual dalam tutur kata, pikiran, dan tindakannya, entahlah ucapnya dalam lirih.

Perenungan dan refleksi ini membawa kita kepada jalan keikhlasan dan pensyukuran yang sangat dalam, semesta akan selalu menyertai setiap langkah, Dia akan mengobati setiap rasa yang terluka, setiap asa yang terjatuh, setiap sayatan luka yang pernah terukir akan terkubur dalam lautan tenang, hembusan angin akan membawanya pergi ke tempat yang terbaik. Bumi pertiwi masih begitu baik memberikan pelajaran yang begitu berharga untuk berkali kali jatuh, tertatih dan bangkit lagi. Semua kondisi mendewasakan banyak diri, mewaraskan setiap logika, dan menuntun kita ke dalam keputusan dan keberlanjutan hidup yang lebih baik.

Perjalanan memang begitu berat, perjuangan begitu pilu, pengorbanan begitu menyakitkan, keikhlasan begitu mengecewakan, pesan seorang Ayah yang pernah disampaikan ke anak perempuannya ternyata benar.

Satu hal yang benar dan pasti, hanya Tuhan tempat perteduhan yang terbaik, dalam kesesakannya, dalam balutan lukanya, hanya Tuhan yang sejati menggemgam rapuhnya perasaan dan pikirannya, Sang Empunya Kehidupan memeluk remuknya jiwa dalam kehangatan seorang Bapa.

Di titik terendahnya, hanya Tuhan Bapa yang setia menemaninya, Dia menopangnya dengan tangan pertolonganNya, dengan anugerahNya lewat orang-orang baik yang Dia kasihi. Terimakasih, Immanuel.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun