Mohon tunggu...
Novel Abdul Gofur
Novel Abdul Gofur Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan di Bidang Kepemerintahan yang sudah pengalaman di sektor / isu pembangunan berkelanjutan selama 20 tahun

Lahir di Jakarta 28 Maret 1975 dan menempuh pendidikan S1 di UI Jurusan Adm Negara (FISIP) 2000, dan S2 di Makati, Phillipine, Asian Institute of Management (AIM), jurusan Development Management, 2005. Bekerja di sektor kepemerintahan untuk pembangunan berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Rumitkah Mengurai Kesimpansiuran Persampahan: Antara Aturan dan Kenyataan Berbeda?

1 Agustus 2020   18:16 Diperbarui: 1 Agustus 2020   18:18 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dualisme! Ketidakjelasan dan akhirnya berakibat -- salah duanya -- pengelolaan sampah saat ini tidak pernah selesai di tingkat tapak/komunitas. Walhasil, dengan mudahnya ditemukan sampah yang berserakan setelah 3-10 langkah keluar dari rumah.

Sesungguhnya, seharusnya dan idealnya tanggung jawab penuh pengelolaan sampah dari RT s/d TPA itu harus Pemerintah Daerah. Tentunya tanggung jawab penuh ini amat harus disertakan bantuan pendanaan dan bantuan teknis dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi.

Di kota-kota negara maju (Belanda, Australia, dan negara maju di benua eropa lainnya), serta di negara peer-countries seperti Malaysia, Brazil, Filipina, pengelolaan persampahan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (kota-kota). Saat sampah RT diletakan di tempat (tong-tong) sampah di depan rumah, maka petugas kebersihan kota mengangkutnya (baik ke TPST/Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu) atau langsung ke TPA.

Namun demikian, terlepas itu -- pengelolaan sampah dari RT s/d TPA -- menjadi tanggung jawab penuh pemerintah daerah, bukanlah tidak boleh community institution terlibat di pengelolaan persampahan. Sangat amat dibolehkan, karena mazhab persampahan itu adalah waste management at sources atau pengelolaan persampahan dari sumber (RT dan atau Kawasan).

Banyak sekali champion- champion dari kepala desa dengan BUMDes-nya, pengelola Bank Sampah, serta pelaku-pelaku sukarela yang di community free waste movement dengan moto gerakan bebas sampah berhasil di tingkat komunitas. Namun karena skalanya mikro dan knowledge basis-nya belum banyak terstrukturkan, lebih pada tacit knowledge, maka impact untuk skala kabupaten dan kota belum amat banyak terlihat.

Berbicara konteks, maka itu berbicara tentang masalah (keadaan) yang ada saat ini, dan tentang aturan yang sigap untuk menghadapi keadaan saat ini. Contoh kasus pada saat ini waste collection rate di Indonesia itu masih 36,39 %, maka mau tidak mau, waste management at sources-nya itu harus dibarengi dengan pengelolaan persampahan yang harus bersandar pada angkut -- kumpul -- buang (RT s/d TPA), yang ini lagi-lagi ditekankan harus menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah Daerah.

Mendapat gambaran simpang-siur antara konteks dan aturan, maka mau tidak mau aturan yang menyebutkan dualisme itu harus dirubah. Melihat konteks, suka tidak suka, "bunyi" di aturan pelaksana baik itu di Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permen) sudah seharusnya pengelolaan persampahan (pengumpulan, pemilahan, pengangkutan dan pemrosesan) dari RT s/d TPA harus menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Kabupaten dan Kota).

Selain itu, sudah seyogyanya, pelayanan persampahan harus masuk menjadi kategori urusan wajib pelayanan dasar. Maksudnya, baik dari sisi soft approach maupun hard approach, itu harus di ranah sanitasi (kebersihan) -- acuan dokumen perencanaannya -- salah tiganya -- adalah Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK).

Dengan semangat untuk tidak 'telanjur basah dan terlanjur dalam' dikesimpangsiuran ini, upaya telah dilakukan oleh Systemiq yaitu dengan menyampaikannya Policy Research Systemiq ke pemangku kepentingan (advokasi) -- melalui media zoom meeting pada tanggal 9, 13 dan 17 Juli 2020. Upaya melalui zoom meeting ini antara lain, menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang Pengelolaan Persampahan Kabupaten dan Kota dengan mengundang Asosiasi Pemerintahan Kabupaten dan Kota Seluruh Indonesia (Apkasi, Apeksi, Adkasi dan Adeksi), serta Systemiq melakukan audiensi dengan Bappenas yaitu ke Direktur Perkotaan, Perumahan dan Permukiman, serta ke Direktur Lingkungan Hidup.

Adapun Policy Research Systemiq menitikberatkan pada: (1) upaya mengembalikan kewenangan persampahan untuk dikelola sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah dengan menerbitkan kembali Permendagri 33/2010 atau membuat baru; (2) Sosialisasi Penerapan Kelembagaan BLUD untuk pengelolaan persampahan kabupaten dan kota yang professional dan efisien (memisahkan peran regulasi dan operasi); (3) Peningkatan Pembiayaan Pengelolaan Persampahan Kabupaten dan Kota (Pendanaan dari Pusat dan Provinsi).

Di upaya advokasi ini, sangatlah tidak fair dan etis apabila membebankan suatu tanggung jawab terhadap sesuatu tanpa ada bantuan untuk kapasitasnya dalam menjalankan tanggung jawabnya. Maka, selain dari meluruskan kesimpangsiuran ini, usulan lainnya yang juga disampaikan ke Bappenas (dan nantinya ke Kementerian terkait lainnya) adalah agar adanya alternative variasi pendanaan yang terdedikasi untuk pengelolaan persampahan kabupaten dan kota, atau dalam "Bahasa Betawi-nya": There Must be a Fully Dedicated Waste Management Funding for Kabupaten and Kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun