Mohon tunggu...
Muhammad Naufal
Muhammad Naufal Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa Fakultas Hukum Atma Jaya Jakarta

Res Publica

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dari Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat menuju Paradigma Welfare State

23 Mei 2020   02:30 Diperbarui: 28 Mei 2020   17:57 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: sundayguardianlive.com

Diawal bulan mei 2020, keluarga korban Tragedi  Semanggi yang diwakili oleh Maria Catarina Sumarsih, ibunda Benardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I yang terjadi pada 11-13 November 1998, bersama dengan tim kuasa hukum melayangkan gugatan Tata Usaha Negara atas pernyataan Jaksa Agung dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, yang menyebutkan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat, dari proses tersebut terlihat dua hal yang dapat kita renungi, bahwa tindakan keluarga korban tersebut adalah tindakan yang estetis, namun juga ironis. 

“Estetis” karena perjuangan dalam memperoleh keadilan sudah berjalan kurang lebih hampir 20 tahun, ironis karena tindakan  menggugat keputusan Jaksa Agung (yang dinilai sebagai objek TUN) adalah simbol kreativitas dan juga sarcastic dari tidak mampunya Lembaga-lembaga mapan yang berwenang dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat.

Dengan segala lika-liku problematika yang dihadapinya. Berbagai lika-liku problematika penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat disebabkan oleh banyak hal seperti;  tumpulnya kewenangan Komnas HAM, Jaksa Agung serta aktor-aktor politik  yang selalu bersifat “unwilling”.

Namun  “able” , ketidakpastian dan sentimen sektarian terhadap peristiwa sejarah seperti Peristiwa Pembantaian 1965/1966, serta yang terakhir namun sangat penting, yaitu kesadaran warga negara terhadap HAM yang masih terbilang buta dan pasif jika berbicara mengenai konsep tersebut. 

Dari keberhasilan negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, kita dapat mencapai kemakmuran dalam bernegara dikarenakan penegakan hukum yang berkeadilan, egaliter, dan tidak berpihak. 

Indonesia yang mengalami represifitas rezim otoritarian dibawah orde baru yang  secara langsung melakukan praktik pembunuhan masal, penghilangan paksa, serta kejahatan sistematis lainnya menimbulkan satu progress hukum dan kelembagaan besar, yaitu perlindunganHAM dan pembentukan Komnas HAM. 

Pembentukan Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM memiliki berbagai kewenangan sebagai lembaga mandiri yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia. 

Terkait dengan due process of law, Sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM mengenai Upaya hukum korban (remedy), diwajibkannya untuk menempuh upaya hukum pada tingkat nasional terlebih dahulu (exhaustion of local remedies), sebelum mempercayakan kepada forum di tingkat internasional, karena itulah para korban, penyintas dan aktivis HAM terikat dengan ketentuan tersebut dan memperjuangkannya dalam tingkat nasional lewat berbagai instrumen kelembagaan yang sudah ada, salah satunya Komnas HAM. Namun nyatanya, problematika pelanggaran HAM berat masa lalu pun tidak mencapai titik terang, mengapa?

Karena fungsi dan kewenangan Komnas HAM sebagai institution of local remedies  sudah diamputasi atau ditumpulkan dari pembentukannya melalui fungsi dan kewenangannya yang ada dalam  peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, salah satunya dalam UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang hanya memposisikan Komnas HAM sebagai penyelidik dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sehingga Jaksa Agung memiliki posisi sebagai Penyidik dan juga penuntut. Sampai sekarang, yang selama ini terjadi adalah berkas penyelidikan yang dikirimkan dari Komnas HAM kepada Jaksa Agung untuk dilakukan penyidikan dan penuntutan dimuka pengadilan, selalu ditolak dengan berbagai alasan, Padahal seharusnya, Komnas HAM diberikan kewenangan dari penyelidikan sampai penuntutan dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dikarenakan sifatnya yang khusus (lex specialis), layaknya KPK yang juga berstatus sebagai komisi dalam hal penegakan hukum di ranah tindak pidana korupsi, mempunyai kewenangan yang besar dari proses penyelidikan, penyidikan, sampai penuntutan dimuka pengadilan. Terlepas dari keinginan untuk mengoptimalkan Lembaga-lembaga negara lainnya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, dari Presiden, DPR, dan Jaksa Agung, optimalisasi kelembagaan tersebut menyebabkan tersebarnya  para aktor politik dalam hubungan patronase yang begitu pragmatis dan oportunis, sehingga dalam berbagai rezim pemerintahan di Indonesia pasca dibentuknya UU HAM, yang terjadi lagi-lagi hanyalah suatu pemberian impunitas dan imunitas kepada para terduga pelanggar HAM. Lagi-lagi, dengan diberikannya jatah politik terhadap para terduga pelanggar HAM demi surplus politik dan elektoral, seperti dipakainya Jenderal (Purn) Wiranto sebagai anggota kabinet pemerintahan dalam berbagai rezim, dan baru-baru ini Letjen Prabowo Subianto sebagai Menteri pertahanan, dari diangkatnya tokoh-tokoh tersebut Kembali dalam rezim pemerintahan dapat disimbolkan sebagai halangan besar terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu karena impunitas dan imunitas hukum tersebut.

Problematika lainnya misalnya, mengenai sentimen yang besar terhadap peristiwa genosida atau pembantaian masal terhadap anggota PKI pada sekitar tahun 1965-1966. Dalam kurun waktu tersebut yang begitu tidak stabil juga dipengaruhi oleh transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, sehingga, propaganda rezim Orde Baru terhadap anggota PKI beserta simpatisannya begitu besar, yang disusupi dalam berbagai sektor-sektor kemasyarakatan seperti Pendidikan dasar, hingga perguruan tinggi, institusi agama, dan lainnya. Hal tersebut lah yang menyebabkan sentimen terhadap anggota PKI tersebut menjadi warisan tetap antar generasi. Sehingga ironisnya sampai sekarang, banyak pendapat dari masyarakat luas bahwa peristiwa pembantaian tersebut “dihalalkan” dan Tindakan rezim Orde Baru dibenarkan oleh masyarakat luas itu sendiri. Dalam keputusasaan dan sentimen yang besar didalam negeri, sekelompok penyintas dan aktivis HAM membawa kasus pembantaian tersebut keforum internasional dengan instrumen yang dibentuk sendiri dengan nama “Indonesian People Tribunal/IPT 1965”, yang lagi-lagi menghasilkan perjuangan yang “Estetis” beserta Ironis. “Estetis” karena tetap berjuang dalam mendapatkan pemulihan HAM dari berbagai instrumen kelembagaan dan berbagai forum, ironis karena mendapatkan sentimen yang besar didalam negeri sehingga instrumen kelembagaan dan hukum tidak dapat berjalan. Selain peran besar dari Institusi kelembagaan HAM ,kini terlihat jelas peran masyarakat luas sebagai aktor penting dari penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, dan penjaminan HAM di masa sekarang. Namun nyatanya, konsep HAM dalam perspektif kemasyarakatan di Indonesia sendiri terlihat masih sangat kurang dan tidak didukung secara penuh, diskursus mengenai perlindungan HAM dalam perspektif kemasyarakatan di Indonesia masih diwarnai berbagai sentimen, seperti sentimen bahwa HAM adalah produk barat, bahwa HAM bertentangan dengan agama, dan terkadang muncul berbagai pendapat bahwa Indonesia “memiliki” HAM nya tersendiri. Adalah hal yang wajar dalam negara demokrasi, pemikiran-pemikiran apapun terus dikembangkan, termasuk pemikiran mengenai HAM, namun seharusnya proses hukum dan remedy dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat tidak gugur dan dilupakan begitu saja dengan alasan pengembangan pemikiran dan diskursus tersebut. Seharusnya, sekarang ini perspektif HAM berorientasi selain kepada pemulihan korban, juga berorientasi kepada paradigma welfare state, Perlindungan HAM warga negara dalam hubungannya dengan paradigma welfare state, menurut Daron Acemoglu dan James Robinson dalam bukunya why nations fail, dapat diartikan bahwa negara akan mencapai kemakmuran dan kesejahteraan apabila negara tersebut terlebih dahulu mengoptimalkan segala institusi-institusi hukum dan HAM, sosial-politik, dan ekonomi secara adil, terbuka, dan demokratis. Penggunaan institusi-institusi hukum dan HAM, sosial-politik, dan ekonomi harus bersifat insentif dan dua arah, bukan ekstraktif dan satu arah. Apabila penggunaan institusi-institusi hukum dan HAM, sosial-politik, dan ekonomi bersifat ekstraktif dan satu arah dari negara tersebut, maka dapat dipastikan negara tersebut akan mengalami kemunduran besar, kemiskinan, dan ketidaktertiban yang berujung kepada jurang anomie. Namun jika penggunaan institusi-institusi hukum dan HAM, sosial-politik, dan ekonomi bersifat insentif dan dua arah, akan menjadikan masyarakat mempercayakan dan merasa hak-haknya terpenuhi sehingga masyarakat akan keluar dari stagnansi menuju suatu progress yang besar . Sekarang sudah saatnya negara menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu melalui institusi hukum dan kelembagaan dalam negeri dengan secara khusus memberikan kewenangan yang besar kepada Komnas HAM dengan cara merevisi UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mencabut berbagai pemberian impunitas dan imunitas kepada terduga pelaku pelanggar HAM, dengan dukungan yang total dan menyeluruh dari masyarakat luas, untuk mencapai paradigma welfare state.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun