Mohon tunggu...
Nova Yulfia
Nova Yulfia Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Seorang Emak Penulis yang menjadikan hobi menulis sebagai profesi.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Fenomena Game Roleplay yang Meresahkan Para Orangtua

26 November 2020   23:16 Diperbarui: 27 November 2020   00:17 5280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena RP game nyatanya sudah meluas dan memiliki dampak negatif pada anak. Game saat ini lebih mudah diakses melalui gadget yang hampir setiap saat berada di tangan kita atau anak-anak kita. Dari sekian macam model game yang tersedia di gawai tersebut, ternyata tidak semuanya aman dimainkan oleh anak-anak. Misalnya yang sedang viral belakangan ini adalah RP (game) atau roreplay.

Permainan RP atau roleplay atau permainan peran pada dasarnya sudah ada sejak dahulu kala. Anak-anak era tahun 90-an sangat akrab dengan mainan peran rumah-rumahan, ada yang berperan jadi orangtua, peran anak dan sebagainya. Untuk mendapatkan peran itu masingnya biasanya ada kesepakatan diantara semua pemain.

Seiring berkembangnya teknologi, permainan peran tersebut sudah tersedia dalam bentuk game yang bisa dimainkan melalui gawai saja. RP game awalnya di viralkan oleh sekelompok remaja yang tengah mengandrungi tokoh Anime, Kpop dan artis barat di Twitter sekitar tahun 2018 lalu.

Cara mainnya.

Para pecinta tokoh permainan tersebut membuat akun di Twitter dan memposting status ke timeline-nya seakan si tokoh memerankan tokoh yang diinginkan. Jika akun RP game yang diperankan sesuai dengan karakter dan tokoh maka ia disebut dengan IC (In Character). Lalu ada lagi yang namanya OOC, yakni akun yang menyimpan karakter tokoh yang dimainkan.

Intinya semuanya sandiwara saja. Pura-pura berperan sebagai tokoh anime yang disukai dan bertindak seakan itu adalah si tokoh.

Yang jadi masalah saat ini dan jadi perbincangan hangat di kalangan orangtua dan bahkan viral di dunia maya, yakni game tersebut dimainkan oleh anak-anak. Sebab, game yang sejatinya dimainkan oleh orang dewasa dibumbui adegan kurang pantas untuk ditonton anak di bawah usia 18 tahun.

Menurut sejumlah pemberitaan, para pelaku game RP tersebut masih duduk di bangku SD, SMP, dan SMA. Namun mereka sudah fasih melakukan adegan dewasa secara verbal dan non verbal di media sosial. 

Jadi game ini semacam kegiatan virtual sex, di mana pertemuan dua orang atau lebih saling terhubung via internet dengan mengirimkan hasrat seksual melalui teks, audio dan video.

Lantas sejauh mana game RP tersebut mampu meresahkan para orangtua yang kecolongan terhadap dunia game sejenis ini?

  • Konten game yang sarat mengandung pornografi.
  • Candu yang diakibatkan dari game yang mengandung pornografi sangat kuat
  • Kecintaan yang sangat luar biasa terhadap tokoh RP sehingga pelaku sulit membedakan antara kenyataan dan bukan
  • Petualangan sex bagi pelaku

Sebuah penelitian tentang psikologis anak dan remaja yang telah dirilis sejak tahun 2012 lalu mengatakan, bahwa anak di bawah 16 tahun sangat riskan terhadap gadget dan ia belum mampu memenuhi keingintahuannya lantas mencoba-coba hasrat seksualnya melalui dunia cyber. Karena ruang lingkupnya tidak terjangkau orangtua, dan pengawasan orang-orang terdekat.

Lalu bagaimana peran kita sebagai orangtua bila anak dan remaja kita terlihat ada gelagat aneh terkait game yang ia mainkan?

  • Kontrol pemakaian gadget. Ini mungkin sudah tidak bisa ditawar lagi. dengan kata lain, ada jam-jam tertentu anak bebas dari gawainya. Tentunya di luar kegiatan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) dan SFH (School From Home).
  • Berikan sex education di rumah. Tema ini bisa dibahas secara santai dan ringan saja. Seakan sedang berdongeng dengan formulasi bahasa yang dipahami anak remaja kita.
  • Orangtua mau tidak mau harus belajar ilmu digital, seperti halnya anak. Supaya paham bagaimana cara membuka history dan memantau situs-situs yang dia buka.
  • Perbanyak kegiatan membaca buku di rumah. Kegiatan PJJ ini memiliki dampaknya anak ada kebosanan dengan kegiatan yang monoton. Gawai lagi, gawai lagi. Selingan membaca buku fisik merupakan ide bagus untuk me-refresh mata dan otak
  • Pemakaian teknologi sepenuhnya adalah tanggung orang tua. Kita yang paham. Kapan anak pantas diberikan kepercayaan dan tanggung untuk memiliki gawai sendiri. Sebagian mungkin pernah dengar kalimat seperti ini ,"siapa suruh anak SD di kasih gawai, bablas kan.."

Kompasianers, teknologi dan perubahan akan terus berlanjut mengikuti perkembangan zaman. Kita semua tahu akan hal ini. Namun soal tanggung jawab bagaimana teknologi tersebut untuk masuk ke dalam keluarga kita dan digunakan, itu sepenuhnya merupakan tanggung jawab kita sebagai orang tua dan sebagai filter pertama bagi anak remaja kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun