Mohon tunggu...
Noval Bantani
Noval Bantani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bebas, Alumni Ponpes Turus Pandeglang, Masuk-keluar; PTIQ, FDI UIN Syahid Jakarta, Al-Bahjah & IAC, Mahasiswa Fakultas Sastra Bahasa Arab Universitas Al-Azhar Kairo

Hidup hanya sekali, hiduplah yang berarti

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebaiknya Kita Tak Perlu Meributkan Hukum Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim

24 Januari 2020   14:10 Diperbarui: 24 Januari 2020   16:47 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekonyong-konyong riuh terdengar ketika kami mulai memasuki gedung flat tempat tinggal kami, adu suara timbul tenggelam terdengar memekik. Tak dinyana di dalam rumah beberapa teman kami sedang beradu argumen tentang suatu permasalahan sosial & hubungan lintas agama.

Satu sama lain berargumen seakan tak mau kalah dengan lainnya, tak ada titik temu, semua berdalil dengan teks-teks agama yang mereka ketahui.

Diskusi berkutat sekitar hukum mengucapkan Assalamu'alaikum kepada non-Muslim atau menjawab salam mereka.

Yang membuat kami heran adalah diskusi tersebut seakan bukan mencari titik temu dan kebenaran, hanya ingin beradu argumen dan berunjuk bakat serta kecerdasan. Ditambah dengan dalil-dalil teks agama yang terkesan diinterpretasikan sesuai keinginan tanpa menyandarkannya kepada pendapat para ahli hukum agama terdahulu.

Dua faktor tersebut menurut kami amat berbahaya dalam sebuah forum diskusi -jika tidak ingin disebut debat kusir-.

Pertama egoisme, kita memiliki hak masing-masing untuk memilih prinsip, tetapi dengan tanpa menafikan hak orang lain yang berpegang pada prinsip mereka. Setiap prinsip atau pendapat yang kita pilih tentunya memiliki probabilitas kebenaran ataupun kesalahan, terlebih terhadap suatu teks agama yang multitafsir (Dzonniyuddilalah).

Merasa paling benar dengan prinsip yang dipilihnya terhadap suatu teks agama yang multitafsir tersebut bukanlah sikap seorang Muslim yang toleran.

Terlebih hukum tersebut para ahli tidak sampai pada konsensus, tetapi perbedaan interpretasi itu menunjukkan akan kaya dan luasnya ilmu yang Tuhan miliki, "Tidaklah kalian diberi ilmu kecuali hanya sedikit saja".

Faktor kedua adalah bullshit. Diskusi agama tanpa didasari argumen kuat yang berasal dari teks agama yang ditafsirkan ahlinya sangat berbahaya. Al-Qur'an & Al-Hadits tidak serta merta bisa dipahami oleh orang awam, apalagi hal tersebut berkaitan dengan hukum, butuh bukan hanya sekedar teks terjemah dari dua sumber hukum agama tadi, tetapi pengambilan (Istinbath) hukum butuh legalitas yang amat ketat.

Kedua belah kubu ektrem dari diskusi malam itu tidak ada yang mau mengalah, ekstrem kanan berpendapat haram sama sekali mengucapkan salam kepada non-Muslim ataupun sekedar menjawab salam mereka menggunakan lafadz Assalamu'alaikum dan Wa'alaikumussalam.

Sedangkan ekstrem kiri melegalkan hal tersebut secara mutlak dengan argumen toleransi beragama di era digital ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun