Sudah sebulan ini, menatap langit menjadi sesuatu hal yang istimewa bagiku. Seolah sedang mencari atau mungkin secara tidak sadar aku berkomunikasi. Lembayung senja yang sekarang sedang ku pandang berwarna jingga kemerahan sama seperti hari-hari sebelumnya. Ku telik langit begitu lama, ada perasaan sendu yang menghangatkan hati ku. Aku rindu sosoknya, aku rindu gelak tawanya, aku rindu suaranya. Tidak bisa, sudah tiada.
Memikirkan tentang kepergiannya membuat ku merasa bersalah. Tak hanya kali ini tapi mungkin seumur hidup ku. Menyadari segala kemungkinan yang bisa ku lakukan sebelum hal itu terjadi. Andai saja, kata andai saja begitu lekat dalam benakku. Seolah kata itu adalah mantra mujarab yang mampu mengabulkan harapanku secara ajaib. Masih aku tatap langit, tidak ku hiraukan leherku yang sudah mulai pegal. Kali ini air mata turun tanpa diperintah. Kehilangan seumur hidup. Apa aku mampu?
Ingatanku kembali memutar suasana saat di rumah sakit. Dia berbaring di ruang flamboyan karena serangan stroke, tak sadarkan diri, lengkap dengan alat bantu oksigen yang menempel dihidung dan selang yang menempel di tangan kanannya. Hari Selasa di sore hari aku melihat bola matanya terbuka kembali dan menatap ku dengan tatapan kosong.Â
Bola mata berwarna coklat terang yang hanya bisa aku lihat sesaat. Hati ku melonjak kegirangan, karena aku yakin dia akan sembuh. Ku bisikan nyanyian rohani di telinga kanan sambil ku pegang tangan kanannya yang sudah mati rasa. Aku rapalkan doa sebagai penguat harapan kami dan aku tau dia mendengarku.
Mengapa senja yang ku tatap hari ini begitu megah di balik syahdu nya? Hati ku bertanya, entah pada siapa. Aku berhenti menatap langit dan menundukkan pandangan ku ke bawah. Pusara milik ayah dengan ukiran namanya pada salib berwarna putih. Tak ada lagi senyum dibibirnya yang bisa ku lihat, nasihatnya yang terselip dalam gurauannya bahkan pelukan hangat ketika aku kembali ke rumah dari perantauan. Andai saja aku masih memiliki kesempatan untuk bersamanya.
Ayah, aku mengasihimu.Â