Mohon tunggu...
Imelda Willfse
Imelda Willfse Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan Anak Usia Dini

Mengembangkan bakat yang dititipkan Tuhan lewat karya tulis-menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengaruh Tingkat Pendidikan Orangtua terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak

22 Januari 2021   16:13 Diperbarui: 22 Januari 2021   16:24 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun (2002:1) tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa "Orang tua dari anak wajib belajar, wajib memberikan pendidikan dasar kepada lingkungan keluarga sbagai tempat pertama pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya".

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Menurut Ki Hajar Dewanta (2010) mengemukakan pengertian pendidikan sebagai berikut: pendidikan adalah tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak-anak. Pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti, pikiran dan jasmani anak-anak.

Sosial anak usia dini merupakan suatu proses belajar anak bagaimana berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan aturan sosial yang ada dan anak lebih mampu untuk mengendalikan perasaan-perasaannya yang sesuai dengan kemampuan mengidentifikasikan dan mengungkapkan perasaan tersebut. Sosial emosional anak berlangsung secara bertahap dan melalui proses penguatan dan modeling.

Menurut Martinko pada tahap perkembangan ini mereka juga telah mampu memaknai suatu kejadian sebagai struktur dan proses sosial emosional seperti konsep diri, standar dan tujuan pembentukan nilai. Hal tersebut ditandai dengan adanya rencana sebagai bagian dari tindakan dalam situasi sosial tertentu.

Proses perkembangan sosial akan menjadi suatu tindakan sosial, manakala ada terjadinya proses perhatian, proses ingatan, proses reproduksi gerak, proses pembentukan dan pengamatan motivasi dan inisiatif pada diri anak itu sendiri. Perkembangan sosial emosional menurut suyadi (2010: 108-109), anak sebagai salah satu aspek dalam perkembangan anak, sejatinya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Dengan kata lain, membahas perkembangan emosi harus bersinggungan dengan perkembangan sosial anak. Demikian juga sebaliknya, membahas perkembangan sosial harus melibatkan emosi. Sebab keduanya terintegrasi dalam bingkai kejiwaan yang utuh.

Menurut George Morisson (2012: 221), Perkembangan sosial emosi yang positif memudahkan anak untuk bergaul dengan sesamanya dan belajar dengan lebih baik, juga dalam aktifitas lainnya di lingkungan sosial. Pada saat anak masuk Kelompok Bermain atau juga PAUD, mereka mulai keluar dari lPeristiwa ini merupakan perubahan situasi dari suasana emosional yang aman, ke kehidupan baru yang tidak dialami anak pada saat mereka berada di lingkungan keluarga. Dalam dunia baru yang dimasuki anak, ia harus pandai menempatkan diri diantara teman sebaya, guru dan orang dewasa di sekitarnya.

Pola asuh orang tua dalam membimbing anak untuk mencapai tugas perkembangan psikososialnya dengan baik, tidak terlepas dari tingkat pendidikan orang tua yang menunjang pengetahuan orang tua tentang pemahaman pola asuh yang baik dalam pencapaian perkembangan psikososial pada anak prasekolah.

Cara membimbing anak belajar di rumah akan berpengaruh terhadap prestasi belajar anak, sehingga anak di sekolah maupun dirumah akan mempunyai prestasi belajar yang berbeda sesuai dengan bimbingan yang diperoleh anak dari orang tuanya. Orang tua yang berpendidikan tinggipun ternyata kurang berhasil dalam mendidik anaknya.

Keberhasilan dalam mendidik anak dapat dilihat dari tingkat pendidikan setiap orang tua pada umumnya. Pendidikan dasar adalah suatu upaya pembinaan yang ditunjukkan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan dengan pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 

Tugas dan peran orang tua dalam keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama di dalam masyarakat. Dimana hubungan yang terdapat di dalamnya merupakan sebagian besar sifatnya hubungan langsung.

Di dalam keluarga anak mengalami perkembangan dan membentuk tahap-tahap awal perkembangan dan mulai dapat berinteraksi, anak memperoleh pengetahuan, keterampilan, minat dan sikap dalam hidup. Sehingga dengan demikian setiap orang tua memiliki gaya pengasuhan yang berbeda dalam mendidik anak mereka.

Pengasuhan yang diberikan oleh orang tua berpengaruh terhadap pembentukan karakter dan perilaku anak. Karakter dan perilaku yang dibentuk sangat menentukan kematangan seseorang dalam melakukan sebuah tindakan atau dalam menyelesaikan masalah. Hal tersebut yang menjadikan pola pengasuhan menjadi unsur penting di dalam pendidikan anak khususnya di keluarga.

Perlu diketahui bahwa perbedaan gaya pengasuhan orang tua dalam keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah faktor pendidikan. Pendidikan orang tua dalam hal merawat anak adalah suatu hal yang cukup penting yang akan mempengaruhi kesiapan orang tua dalam menjalankan peran pengasuhan.

Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh dan dalam masyarakat.

Keluarga merupakan tempat yang pertama dan utama bagi anak. Selain itu keluarga juga merupakan pondasi primer bagi perkembangan anak, karena keluarga merupakan tempat anak untuk menghabiskan sebagian besar waktu dalam kehidupannya. Keluarga pada awalnya terbentuk karena adanya perkawinan. Perkawinan merupakan proses di mana manusia dari berbagai perbedaan dan berusaha untuk mengintegrasikan dirinya untuk membangun kebersamaan dalam rumah tangga. Dalam sebuah hubungan tidak jarang menimbulkan harapan-harapan yang tidak realistik baik di pihak suami ataupun istri. Namun ketika harapan-harapan yang tidak realistik ini dihadapkan dengan realistis kehidupan sehari-hari sebagai suami istri, maka tidak jarang hal-hal yang dianggap sepele kemudian dapat menimbulkan kekecewaan, seperti sikap egois, mudah marah, keras kepala, dan lain-lain. Akibat kondisi ini maka sering timbul pertengkaran yang pada akhirnya membuat mereka merasa  bahwa  perkawinan  mereka  tidak seperti  yang  diharapkan  dan  merasa  kecewa.  Untuk mengatasi rasa kecewa tersebut suami istri harus mengadakan negosiasi, jika negosiasi berhasil maka hubungan suami istri akan membaik, sebaliknya jika suami istri tidak menegosiasikan maka tidak menutup kemungkinan perkawinan tersebut mengalami kehancuran atau penceraian. Perceraian dalam keluarga itu, biasanya berawal dari suatu konflik antar anggota keluarga, jika dirinci secara sistematis sebab-sebab perceraian dalam keluarga ada dua faktor besar yakni: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain: 1) Beban psikologis ayah atau ibu yang berat (psychological overloaded) seperti tekanan (stress) di tempat kerja, kesulitan keuangan keluarga;  2)  Tafsiran  dalam  perlakuan  terhadap  perilaku  marah-marah  dan  sebagainya;  3) kecurigaan suami atau isteri bahwa salah satu di antara mereka diduga berselingkuh dan lain-lain; dan 4.) Sikap egoistis dan kurang demokratis salah satu orangtua, misalnya suka mengatur suami atau  isteri,  memaksakan  pendapat  terhadap  anak-anak,  otoriter,  kurang  suka  berdialog  atau berdiskusi tentang masalah keluarga, lalu orangtua (ayah atau ibu) mengambil keputusan sendiri tanpa musyawarah, sehingga menyinggung perasaan anggota keluaga yang lain. Sedangkan faktor eksternal antara lain: 1.) Campur tangan pihak ketiga dalam masalah keluarga terutama hubungan suami-isteri dalam bentuk isu-isu negatif; 2.) Pergaulan yang negatif anggota keluarga; 3) Kebiasaan isteri berguncing di rumah orang lain yang akan membawa isu-isu negatif ke dalam keluarganya; dan 4) Kebiasaan berjudi (dalam Willis, 2018). Kedua faktor konflik jika tidak bisa diatasi lagi, maka peristiwa perceraian diambang pintu. Peristiwa ini mendatangkan ketidaktenangan berpikir. Ketidaktenangan berpikir itu memakan waktu lama. Kemelut ini, biasanya masing-masing  pihak  mencari  jalan  keluar  mengatasi  berbaagai  rintangan  dan  berusaha menyesuaikan diri dengan hidup baru. Peristiwa perceraian dapat membawa pengaruh, kasus ini menimbulkan  stres, tekanan, dan menimbulkan perubahan fisik dan mental.  Keadaan ini dialami oleh semua anggota keluarga, ayah, ibu, dan anak. Kasus perceraian sering dianggap suatu peristiwa tersendiri dan menegangkan dalam kehidupan keluarga. Tetapi peristiwa ini sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun