Mohon tunggu...
Nova UlailaDewi
Nova UlailaDewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - I'm simply an accident. Why take it all so seriously?

I like to discuss abstract concepts. My passion is bring (something) into existence.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

The Next Gusdur

6 Mei 2021   21:43 Diperbarui: 6 Mei 2021   22:41 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di antara banyak tokoh negara, nama Ahmad Syafii Maarif mungkin menjadi salah satu sosok cendekiawan muslim yang sering didengar. Bagaimana tidak, beliau merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah sekaligus pendiri Ma'arif Institute. 

Selain itu, sosok Ahmad Syafii Maarif dikenal sangat plural dan gemar mengkritisi hal-hal yang beliau anggap menyimpang. Kelebihan beliau adalah memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi di tengah posisi beliau sebagai seorang tokoh agama Islam. Kira-kira hal apalagi ya yang bisa dipelajari dari Ahmad Syafii Maarif? Simak kisah perjalanan beliau berikut ini ya!

Perjuangan Menempuh Pendidikan dalam Kemiskinan

Ahmad Syafii Maarif lahir di Sumpur Kudus, Minangkabau pada tanggal 31 Mei 1935. Beliau merupakan bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Ma'arifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan Fathiyah. Syafii kehilangan sosok ibu saat masih berusia satu setengah tahun. Semenjak itu, beliau dititipkan di rumah adik sang ayah.

Syafii menempuh pendidikan pertama di Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1942. Pendidikan yang seharusnya ditempuh selama enam tahun tersebut mampu beliau selesaikan dalam waktu lima tahun saja. Hanya saja, karena kondisi negara yang sedang tidak kondusif karena ada perang kemerdekaan, Syafii gagal memperoleh ijazah meski berhasil lulus SR.

Kondisi ekonomi sang ayah yang kurang baik memaksa Syafii menunda melanjutkan sekolah. Beliau baru bisa kembali bersekolah pada tahun 1950 di Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau. Setelah lulus, Syafii merantau ke Jawa bersama dua adik sepupunya. Sampai di Jogja pada tahun 1953, Syafii justru belum bisa melanjutkan SMA karena keterbatasan kuota. Akhirnya Syafii kembali bersekolah di Muallimin di Yogyakarta yang merupakan organisasi milik Muhammadiyah. Syafii sendiri baru lulus setara SMA di usia 21 tahun.

Kegigihan Syafii dalam bersekolah terlihat dari perjuangan beliau yang rela harus bersekolah hingga ke Yogyakarta meski di usia yang tidak lagi muda untuk bersekolah SMA. Di tengah kemudahan fasilitas sekolah yang kamu miliki sekarang, tentu kamu tidak pernah membayangkan sulitnya menempuh pendidikan di masa Syafii dulu.

Pantang Menyerah 

Selepas lulus dari Muallimin, Syafii diharuskan untuk mengabdi pada sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah. Beliau kemudian dikirim ke Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Saat itu masalah biaya juga menjadi alasan Syafii memilih menunda melanjutkan sekolah. Syafii mengajar di sekolah Muhammadiyah di Lombok selama setahun. Beliau kemudian bertekad melanjutkan kuliah dengan kembali lagi ke Jawa.

Syafii memilih Surakarta sebagai tempat menempuh kuliah. Beliau masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964. Kemudian, beliau melanjutkan pendidikan di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial dan lulus tahun 1968. Meski sukses menyelesaikan kuliah, bukan berarti jalan Syafii mulus. Beliau harus kerja keras membiayai kuliah sendiri. Berbagai pekerjaan beliau lakukan, mulai dari guru mengaji, buruh, hingga pelayan toko kain. Beliau juga sempat menjadi redaktur di Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia. Wah, bisa kamu bayangkan kan betapa sulitnya perjuangan beliau demi berkuliah!

Haus akan pendidikan terus berada di diri Syafii hingga beliau sudah tua. Pada tahun 1993, beliau meneruskan ke jenjang master dan dokter ke Amerika Serikat untuk mempertajam wawasan intelektual. Beliau mengambil program master di Departemen Sejarah Ohio University dan pemikiran Islam di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Pendidikan yang beliau tempuh di luar negeri inilah yang membuat pemikiran Syafii tentang Islam menjadi lebih terbuka. Tidak heran jika sosok beliau pun tampak sebagai tokoh muslim yang humanis dan liberal. Beberapa orang bahkan menganggap beliau hampir mirip dengan Gus Dur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun