Mohon tunggu...
Norpikriadi
Norpikriadi Mohon Tunggu... Guru - Penulis lepas

Hanya seorang yang terus mencari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kepahlawanan Tak Boleh Mati

10 November 2021   12:30 Diperbarui: 9 November 2022   07:58 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: primaindisoft.com

Oleh : Norpikriadi

Hingga malam jelang 10 November tak satupun kata yang fix terpatri di layar laptopku. Kalimat demi kalimat yang menghuni paragraf terketik dan terdelete silih berganti. Padahal Hari Pahlawan tahun ini kuniatkan sebagai momen untuk menulis mereka, orang-orang yang berjasa itu.  Terakhir, tema tersebut jadi goresan penaku 15 tahun lalu.

Kali ini, awalnya kurencanakan menulis cerpen dengan judul “Makam Pahlawan Tak Bertaman”. Berkisah tentang sesosok pejuang ’45 yang--konon atas permintaannya sendiri--berkubur di tanah biasa, bernisan biasa, di belakang rumahnya yang juga biasa. Padahal semasa revolusi fisik ia dikenal sebagai sosok pemberani, bahkan nekat, dalam menghadapi serdadu penjajah.

Sosok yang tiba-tiba menjelma ketika sambil lalu aku bertanya hormat dalam hati: “Kenapa anda tak ingin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan?” Makamnya memang cuma dibatasi pagar bambu dengan gang yang kulalui saat berangkat dari--dan pulang ke--rumah. Berdiri gagah dengan uniform hijau lusuh sambil menenteng Sten Gun hasil rampasan dari tentara Jepang. Sementara peci kain beremblem dwi warna terpasang miring di kepalanya. Pejuang dengan sorot mata tajam itu menjawabku: “Tidak papa. Aku hanya ingin beristirahat tenang di tanahku sendiri. Kalau pun gara-gara ini, jasaku yang secuil di masa perjuangan dilupakan orang, ya biar saja! Dalam hal ini aku toh, tak sendirian. Sebab, tak terhitung kawan-kawan seperjuanganku yang bermakam di tanah tak bernama, sehingga nama mereka pun mungkin tak pernah kalian kenali. Tapi setidaknya pahamilah, bahwa di semua jengkal tanah merdeka inilah Taman Makam kami yang sesungguhnya.”

Ia diam sejenak. Menghela napas seiring tatapannya yang menyedih.

“Selain itu banyak pula jasad kami yang gugur di kecamuknya perang terbiarkan membelulang, dan lalu perlahan lenyap oleh sengatan matahari, gerusan hujan, dan benaman longsor,” sambungnya. “Nah, jika kami semua berkubur di Taman Makam Pahlawan, kami khawatir kalian generasi penerus lebih terfokus pada tamannya, bukan pada jejak kepahlawanan dari orang-orang yang menghuni makam itu. …”

Sampai di sini cerpen itu terhenti. Otakku tak mampu lagi mengolah daya imajinasi menjadi output kreatif untuk melanjutkannya. Namun karena telah terniat untuk tak membiarkan momentum Hari Pahlawan berlalu dengan jejak sunyi, kucoba saja meneruskan tarian pena di lantai wacana. Mungkin tak lagi berbentuk cerpen, tapi masa bodoh! Bentuk dan jenis tulisan tak lagi kupedulikan dalam hal ini.

Secara sederhana, taman yang diucapkan pejuang imajinerku itu tentu mengacu sebuah tempat indah penuh pepohonan rindang dan bunga di sana-sini, lengkap dengan polah kupu-kupu. Teduh, menyenangkan, serta mampu menghadirkan suasana rileks. Dalam situasi ini, ia lalu mengundang kunjungan banyak orang, untuk mengendapkan sejenak kepenatan hidup.

Tentu berlebihan menyamakan fungsi Taman Makam Pahlawan dengan konsep taman seperti di atas. Namun demikian, perlu kiranya jika pada momentum Hari Pahlawan ini, ia dihadirkan sebagai media untuk mempertanyakan kembali, sudah seberapa tepat kita memaknai keberadaan para pahlawan yang menghuni taman itu? 

Apakah untuk sekedar dikenang jasa-jasanya, tetapi kemudian kita lupakan karena harus kembali bergumul dengan ruwetnya realitas keseharian? Bertarung satu sama lain demi ragam kepentingan, dengan menjadikan negeri merdeka ini sebagai altar ego individu dan kelompok?

Hakikat kepahlawanan sejatinya berletak pada kesediaan pelakunya untuk mengorbankan hal-hal berharga dalam hidup seperti harta, serta rasa aman dan nyaman. Demi kemerdekaan bangsa, mereka tanpa ragu mengorbankan semua itu. Sekalipun untuk itu keringat harus diperas, air mata harus diteteskan, darah harus tertumpah, bahkan nyawa kerap kali harus melayang.

Lalu, layakkah kita menyebut diri sebagai bangsa bermartabat, apabila pengorbanan para pahlawan kita kenang hanya melalui seremoni? Jika kepahlawanan sekadar kita peringati, namun teladannya gagal menginspirasi, lalu apa artinya?

"Kalian tak harus lagi bertaruh nyawa seperti kami untuk memperjuangkan negeri ini. Temukanlah bentuk kepahlawanan kalian sendiri untuk hal yang sama!" Berucap lagi pahlawan yang makamnya tak bertaman itu dalam imajinasiku. 

Dan dia betul, bahwa di segala situasi di segala zaman, yang namanya perjuangan memang niscaya menuntut kita untuk siap berkorban. Untuk saat ini tak harus darah, tidak harus nyawa. Cukup mengorbankan naluri korup saja di jiwa-jiwa kita, maka demikianlah bentuk kepahlawanan yang paling dibutuhkan bangsa di kekinian. Seberani pahlawan era lalukah kita melakukannya? Sebab, bukankah yang terjadi selama ini adalah begitu banyaknya ketidaktahanan, manakala segenggam kekuasaan ada di tangan? Tidak tahan bila tidak memanipulasinya demi menebalkan isi kantong? Alih-alih memajukan bangsa dan memakmurkan rakyat, amanah jabatan kerap kali menjadi media untuk menggendutkan perut. Perut diri, perut keluarga, perut kolega. Bahwa masih begitu banyak perut lain yang lapar, mana pernah ada itu dalam paradigma para durjana?

Mentalitas korup dalam konteks Hari Pahlawan otomatis akan terbaca sebagai wujud pengkhianatan atas hakikat kepahlawanan itu sendiri. Negara yang lahir dari tumpahnya darah pahlawan justru dikhianati oleh perilaku korup generasi penerusnya. Alih-alih menumpahkan darah demi kejayaan negeri, kelakuan kita malah banyak seibarat vampir yang doyan menghisap darah rakyat. Ini terjadi mungkin salah satunya karena kekeliruan dalam memahami konsep kepahlawanan. Kita pikir ia sekadar monumen indah tanpa jiwa. Yang cukup sesekali dikenang, dipuja, atau diperingati lewat seremoni formal, untuk kemudian dilupakan.   

Kebanyakan pahlawan mungkin telah mati, tetapi kita tidak boleh menguburkan kepahlawanan mereka sebagai makhluk mati pula. Bagi generasi penerus di mana kita ada di dalamnya, kepahlawanan mestinya adalah hal yang selalu hidup dan dihidupkan sebagai napas kehidupan. Tidak cukup ia hanya dikenang sebagai romantisme masa lalu. Bukankah kita nantinya juga tak ingin hanya dikenang dengan cara seperti itu?

*******************************            

*pentingnya Pahlawan hingga kita perlu menulisnya dapat pula ditengok di sini:

https://norpikriadi.wordpress.com/2021/06/06/kenapa-pahlawan-harus-ditulis/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun