Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Banjir, Penyakit Kambuhan Telah Tiba

12 Desember 2017   18:14 Diperbarui: 12 Desember 2017   18:43 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa pun yang memimpin Jakarta sepertinya sulit untuk mengatasi persoalan klasik di Ibu Kota: banjir! Masalah yang satu ini menjadi pekerjaan rumah yang hingga masih dicari solusinya. Entah sampai kapan?

Jujur saja banjir di Jakarta sebenarnya masalah kambuhan (recurrence) yang sebenarnya sudah dapat diprediksi jauh hari sebelumnya. Persoalannya: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta selalu terlambat dalam menangani banjir yang seakan menjadi agenda tahunan setiap musim penghujan tiba.

Pemprov DKI Jakarta selalu bersikap pasrah. Setiap gubernur mempunyai acara sendiri untuk mengatasinya. Warga terutama yang tinggal di daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung selalu menjadi sasaran tembak. Karena itu, penertiban warga yang tinggal di bantaran sungai kadang menjadi prioritas program penanganan banjir.

Di zaman Gubernur Sutiyoso ancaman untuk menertiban penghuni bantaran sungai sudah digadang-gadang. Namun, di masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) penertiban apapun namanya menjadi sebuah kenyataan. Ingat bagaimana penertiban warga yang tinggal di sekitar Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur. Aparat bentrok dengan warga. Darah mengalir di sana.

Tiga Persoalan

Mantan Wakil Gubernur Jakarta tahun 1984-1988, Bun Yamin Ramto pernah menyebutkan, penyebab banjir di Ibu Kota ada tiga. Pertama, hujan di luar Jakarta dan mengalir melalui 13 sungai yang ada di Jakarta. Kedua, adalah curah hujan besar yang melanda Jakarta sendiri dan ketiga, adalah jika air pasang naik maka daerah-daerah rendah seperti Pademangan dan Tanjung Priok bisa banjir.

Bun Yamin Ranto ada benarnya juga. Kondisi tersebut diperburuk lagi dengan penurunan tanah di sejumlah wilayah Jakarta sejak 1978. Ditandai keretakan bangunan bertingkat di kawasan perkantoran Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Penurunan tanah paling nyata di daerah utara Jakarta dan sebagian wilayah Jakarta Barat. Sebut saja di wilayah Gunung Sahari dan Mangga Dua.

Penurunan tanah juga terjadi di daerah-daerah yang baru saja direklamasi. Sebut saja di Perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) yang dibangun taipan Ir Ciputra dan Pantai Mutiara, Jakarta Utara.

Di zaman Gubernur Surjadi Soedirdja dibuat master plan pembangunan kota pantai di utara Jakarta yang dikenal sebagai master plan waterfront city yang mencapai sedikitnya reklamasi di pantai utara Jakarta seluas 2.700 hektar atau sepanjang 32 kilometer dengan lebar rata-rata 1,5 kilometer dan memerlukan bahan timbunan sebanyak 200 lebih juta meter kubik tanah.

Belakanganmaster plan waterfront city itu tiba-tiba berubah menjadi reklamasi versi baru yang akhirnya heboh tidak berkesudahan. Pro dan kontra pun terjadi hingga sekarang ini. Bahkan, mereka yang mengaku nelayan di pesisir Jakarta menggelar aksi menduduki tanah hasil reklamasi itu.

Itu soal lain. Sebab, tak kalah gencarnya adalah pembangunan gedung jangkung di pusat Jakarta yang mengakibatkan makin berkurangnya daerah resapan air. Dampaknya, makin banyak daerah genangan air ketika hujan deras turun. Hamparan tanah tiba-tiba saja berubah menjadi aspal beton. Akar batang pohon tumbang tergusur gedung pencakar langit. Belum lagi pembangunan apartemen dan gedung perkantoran yang tidak pernah tidur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun