Kita juga tak akan pernah melihat sebuah tim meminta mengubah aturan baku yang ada agar kesempatan bermain mereka lebih panjang (catatan: mereka sementara ketinggalan skor). Hal tak waras seperti inilah yang sementara diperagakan/didemo ribuan Kades di Jakarta.
Memang sih, ada banyak indikator mengukur keberhasilan kinerja Kades, bukan hanya soalan seperti perselisihan ini, namun kita perlu mengutip pendapat Fahri Hamzah bahwa semakin banyak kompetisi justru semakin besar peluang menghadirkan pemimpin berkualitas. Dengan menambah durasi jabatan jelas mengebiri kesempatan berkompetisi, bukan?
Surta Wijaya dalam ceritanya mengatakan dengan lantang bahwa ia terus didera konflik hingga masa jabatannnya selesai. Ini menarik. Jika ini yang terjadi artinya ada sesuatu yang salah dalam proses memenangkan pemilihan.
Budiman Sudjatmiko boleh mengatakan bahwa dinamika politik di desa amat berbeda dengan di kabupaten, provinsi, dan pusat. Namun politik tetaplah politik.
Politik di mana pun identik dengan uang dan kekuasaan. Bagi banyak orang, itulah surga sebenarnya. Obsesi banyak orang tak bertepi jika berkenan dengan dua hal itu.
Karena berkaitan dengan "surga dunia", digunakanlah segala cara untuk merebut tahta tertinggi. Sudah jadi rahasia umum, proses menuju puncak itu tak lepas dari adu uang, adu janji manis, adu curang, dan intimidasi.
Bisa jadi, situasi ini membuat pihak yang kalah tak pernah benar-benar legowo. Pada dasarnya, ini berlaku sama di desa, kabupaten, provinsi, maupun pusat.
Tentu ada juga politikus yang tak menggunakan cara-cara negatif dalam menjalani karirnya dan fokus bekerja sesuai amanahnya. Dari mereka didapatkan inspirasi demi menjadikan dunia lebih baik.
Hal yang diangkat Surta Wijaya dan Budiman Sudjatmiko sebenarnya merupakan upaya menggeneralisir situasi. Pengalaman satu orang Suta Wijaya di desanya dianggap mewakili 81.616 keseluruhan desa di Indonesia.
Boleh saja Budiman Sudjatmiko mengatakan sudah berkeliling mewawancarai banyak Kades yang berdemo dan mendapat jawaban sama, namun kita tentu sepakat bahwa pernyataan subjektif seperti ini tak bisa dijadikan rujukan.
Sebaiknya para Kades melakukan introspeksi, hal apa yang menyebabkan ia selalu dirongrong dan bahkan tak dianggap hingga bertahun-tahun pasca-pilkades.