Mohon tunggu...
Nor Kholis
Nor Kholis Mohon Tunggu... Freelancer - suka

sedang mengetik...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pancasila Lagi, Lagi-lagi Pancasila

1 Juni 2020   22:06 Diperbarui: 1 Juni 2020   22:03 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.merdeka.com/

Kalau setiap tanggal 1 Juni kita tidak merayakan hari lahir Pancasila kira-kira bagaimana ya? Apakah kita menjadi tidak Pancasilais? Lalu siapa sebenarnya yang paling Pancasilais? Apa mereka yang tidak pernah alpa memperingatinya? Mbulet dan bikin capek kalau mau dibahas. Paling - paling banyak yang ngaku, saya paling Pancasila.

Entah saking risihnya atau gimana, salah satu budayawan terkenal pernah bilang kalau Pancasila itu nggak ada. Lho kok bisa? Mungkin karena banyaknya kesenjangan sosial, kemiskinan tidak selesai - selesai, ketidakadanya keadilan bagi wong cilik, hukum lancip ke bawah dan sebagainya.

Benar juga sih, katanya kekayaan di negeri ini memang hanya dikuasi oleh segelintir orang saja. Padahal lirik lagunya Koesplus bilang, "Tanah kita tanah surga". Masak 250 juta lebih penduduk Indonesia tidak bisa menikmati surganya sendiri. Kasihan.

Lalu bagaimana dengan produk hukumnya? Menyimak obrolan di angkringan, waroeng borjo, atau di tempat parkiran, masih sama saja tuh. Persis dengan yang disampaikan oleh para pengiat Hak Asasi Manusia. Masih tebang pilih. Ternyata frekuensinya mereka sama juga.

Itu baru dari aspek satu hukum saja ya. Belum kalau sudah mbahas masalah korupsi.  Huffzzz. Bagini kata -- kata yang sering saya dengar, "Maling (Pencuri) ayam saja bisa diajar sampe babak belur masih ditambah dimasukkan ke penjara, lha mereka yang korupsi, paling cuma dipenjara sebentar, dendanya juga sedikit". Salah seorang ada yang nyelatuk "hati -- hati jangan sebar di medsos lho, bisa - bisa dilaporin, kena UU ITE".

Oke, balik ke soal Pancasila tadi. Apakah benar Pancasila memang tidak ada? Tergantung dari sudut pandang melihatnya.  Saya masih sering kok lihat para pedagang asongan, penarik becak, dan para pekerja lainnya, setelah pulang kerja, malam harinya masih sempat ikut siskampling. Setiap minggu juga aktif ikut kerja bakti.

Komunitas -- komunitas dan organisasi sosial di tataran akar rumput tiap hari semakin banyak. Hampir pada semua bidang; pendidikan, ekonomi, hukum, lingkungan dan bidang -- bidang yang lain ada. Disitu pasti ada komunitas yang dipelori oleh muda -- mudii, mahasiswa, atau ibu -- ibu PKK.

Masyarakat suku anak dalam juga masih selalu menjaga lingkungan alamnya. Bertahan dengan memanfaatkan kekayaan alam secukupnya. Tidak rakus. Meski mereka harus berjuang dengan korporat yang ingin menjarah lahan-lahannya. Kalau tidak ada mereka bagaimana nasib hutan kita.

Saat berkunjung ke sebuah desa -- desa kita masih melihat berbagai tradisi warisan para leluhur dijaga dan dirawat dengan baik. Menjadi sebuah kearifan lokal yang benar -- benar penuh kekayaan. Meski kini sudah mulai banyak dikomersilkan. Esensi dari tradisi perlahan mulai tergerus dengan materi.

Satu lagi. Banyak di kampung -- kampung disitu tinggal orang dengan berbeda - beda agama. Mereka hidup damai -- damai saja. Tetap rukun. Jaga posko siaga corona juga bareng -- bareng. Kalau semisal kok ada satu dua kejadian berbau intrik agama, tidak lantas menyimpulkan sikap toleransi sudah hilang. Cukup dudukan perkara. Silahkan para pihak yang berwenang amalkan nilai-nilai Pancasila untuk menyelesaikannya.

Sekarang apakah sudah percaya kalau Pancasila itu ada? Jawabannya Pancasila sudah banyak terinternalisasi dalam kehidupan di masyarakat. Tanpa bersua, nilai -- nilai luhurnya telah menjadi bagian dalam keseharian. Bukan hanya sekedar wacana atau teori belaka. Jadi mohon maaf meskipun tidak ikut upacara secara online maupun offline apalagi pasang status di story, mereka tetap Pancasilais. Sudah ketemu kan jawabannya.

Tapi apakah salah dengan yang memperingatinya? Santai, tidak juga. Apalagi sejak 4 tahun yang lalu Pak Presiden telah menerbitkan (Perpres) No 24 Tahun 2016 yang mengajak kepada seluruh komponen bangsa untuk memperingati tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Jadi sudah menjadi semacam kewajiban.

Meskipun di tanggal tersebut Pancasila masih belum final. Masih melewati Piagam Jakarta, pada 22 Juni. Baru difinalisasi bersamaan dengan Penetapan Undang -- Undang Dasar, pada 18 Juni 1945. Lalu apakah di tanggal -- tanggal tersebut akan diperingati juga? Apakah antara rentang waktu 29 Mei -- 1 Juni akan dijadikan seremoni juga? Mengingat Soepomo dan Muh Yamin juga turut memaparkan dasar negara dalam sidang BPUPKI waktu itu.  

Sebagai orang awam pasti njlimet dan rumit kalau kita hanya berkutat membahas Pancasila dari sisi sejarahnya saja. Selain banyak tarik ulur pendapat, banyak tokoh punya andil besar disana, tapi tidak begitu termasyhur. Sultan Hamid II, misalnya, sang pembuat lambang Garuda Pancasila. Meminjam istilah Guntara Poetra, kalau ingin memahami sejarah kata kuncinya adalah who is behind, begitu tuturnya. Gampangannya tergantung siapa yang membawakan.

Oke jadi deal ya, dari pada pusing - pusing, kita tidak sedang memperdebatkan sejarah Pancasila beserta lain - lainnya. Sekarang move on. Kita sepakat dulu, membahas tentang kedudukan Pancasila sebagai falsafah atau pandangan hidup bangsa Indonesia.  Kalau yang tidak sepakat? Silahkan kopinya disruput dulu.

Yang sepakat dengan Pancasila pasti juga tahu kalau ada sekelompok orang atau organisasi yang tidak sepakat dengan Pancasila kan? Iya, 2017 lalu Presiden melalui Menkumham telah membubarkan salah satu ormas yang katanya tidak setuju dengan Pancasila.

Baik lanjut dulu, kira -- kira kenapa muncul kelompok yang enggan menerima Pancasila sebagai sebuah idiologi? Asumsi saya karena mereka mengklaim punya idiologi yang lebih hebat dari pada Pancasila. Pertanyaannya apakah Pancasila masih kurang hebat? Lagi -- lagi Pancasila yang jadi kambing hitamnya.

Apa ada yang salah dengan nilai-nilai luhur Pancasila? Padahal nilai-nilai itu diambil dari sejarah perjalanan panjang bangsa ini bahkan sebelum istilah Indonesia sendiri ada. Lalu apanya yang salah? Tanpa berpanjang lebar, yang salah adalah pelaku oknumnya. Bukan Pancasilanya.

Kenapa bisa? Karena biasanya mereka yang suka teriak -- teriak ngaku paling Pancasilais adalah meraka yang sebenarnya paling tidak Pancasilais. Contoh. Mereka sudah disumpah, disumpah lho, sekali lagi, disumpah untuk setia pada Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, UUD. Ehh tahu - tahu kok malah pake baju rompi warna orange, duh duh. Pasti obrolan di warung kopi jadi tambah seru.

Kalau sudah seperti ini, para pecinta Pancasila, lihat para elitnya begini, hanya bisa mengelus-elus dada.  Apalagi kalau yang dari awal memang sudah tidak suka dengan Pancasila. Mereka pasti tepuk -- tepuk ria. Dapat bahan yang bisa digoreng. Lagi -- lagi Pancasila kena getahnya.

Jadi begini, balik ke awal, misal orang-orang tadi ditanya; ada penjual asongan, tukang becak, tukang parkir, orang suku dalam, warga kampung,  ditanya soal apa itu Pancasila dan apa fungsinya, yaa mereka binggung ngak bisa menjawab. Tapi kalau anda ingin tahu apa itu Pancasila yang sebenarnya, cukup lihatlah mereka.

Sedikit tambahan. di saat Indonesia dilanda pandemi corona saat ini, sudahkah semua sila Pancasila dihadirkan sebagai problem solver. Kalau masih banyak masalah, perlu intropeksi diri. Apakah benar, Pancasila sudah terinternalisasi dalam kehidupan kita. Pancasila hasil kesepakan politik bersama. Diwariskan demi kemaslahatan manusia. Senada pesan Gusdur, "di atas Politik ada Kemanusiaan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun